Syaikh Muhammad bin Muhammad Al Mukhtar Asy Syinqithi1 menjelaskan:

Sebelumnya sudah kami katakan bahwa wanita hamil dan menyusui boleh untuk tidak berpuasa, namun apakah mereka meng-qadha?

Mayoritas ulama salaf dan khalaf rahimahumullah mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui tetap wajib meng-qadha jika mereka tidak berpuasa. Baik karena khawatir terhadap dirinya, terhadap anaknya maupun terhadap keduanya. Dalil dari pendapat ini adalah yang menjadi ashlus syari’ah (hukum asal), bahwa kewajiban puasa itu di-qadha. Kemudian, dalil menetapkan bahwa bagi orang yang mendapat udzur sehingga tidak berpuasa, maka diganti di hari lain. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 184).

Allah Ta’ala mewajibkan orang yang memiliki udzur untuk mengganti puasa di hari lain, maksudnya qadha. Inilah hukum asal yang semestinya menjadi pegangan.

Sebagian salaf berpendapat bahwa mereka tidak perlu meng-qadha, sebagaimana Abdullah Ibnu ‘Abbas dan Abdullah Ibnu Umar rahimahumullah. Mereka berdua berpendapat hanya wajib membayar fidyah saja. Pendapat ini bertentangan dengan hukum asal, karena wanita hamil dan menyusui itu termasuk orang yang mendapat udzur. Sedangkan udzur dalam syariat terbagi menjadi 2:
Pertama, udzur yang permanen yang tidak akan hilang. Misalnya orang sakit yang tidak ada harapan kesembuhan lagi, atau orang tua renta yang tidak mungkin kuat lagi sehingga kuat untuk berpuasa lagi. Pada udzur seperti ini, berlaku hukum asal berupa badal (pengganti) dari puasa, yaitu membayar fidyah.
Kedua, udzur yang tidak permanen. Maka wajib untuk berpegang pada hukum asal, yaitu meng-qadha. Ibnu Umar dan Ibnu ‘Abbas berijtihad bahwa kewajiban qadha telah gugur bagi wanita hamil dan menyusui.

Sebagian ulama muta-akhirin juga berdalil dengan hadits Anas bin Al Ka’bi, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إن الله أسقط عن المسافر الصلاة والصوم وعن المرضع والحامل الصوم

Sesungguhnya Allah menggugurkan kewajiban shalat dari musafir, dan menggugurkan kewajiban puasa dari orang hamil dan menyusui

Para ulama berkata, hadits ini diperselisihkan sanadnya. Sebagian ulama ada yang meng-hasan-kan dengan adanya syawahid. Sebagian lagi, seperti Ibnu Turkumani, mengatakan bahwa hadits ini mudhtharib secara sanad maupun matan, karena pada sebagian riwayat terdapat perkataan Anas bin Ka’bi:

لا أدري أقالهما جميعا أو أحدهما

Saya tidak yakin apakah Rasulullah mengatakan yang pertama atau yang kedua

Sehingga diragukan apakah puasa yang gugur itu dari musafir berserta wanita hamil dan menyusui, ataukah khusus hanya musafir saja? Justru hadits ini dapat berbalik menjadi dalil bagi pendapat jumhur. Karena Nabi menjelaskan bahwa Allah menggugurkan shalat dan puasa bagi musafir, maksudnya ‘digugurkan sebagian shalat, bukan semua shalat’. Dan berdasarkan ijma, musafir boleh untuk tidak berpuasa, kemudian menggantinya di hari lain, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 184)

Hal ini menunjukkan bahwa yang digugurkan dalam hadits bukanlah qadha-nya, dan juga bukan kewajiban melaksanakan puasanya. Jika dengan hadits ini berdalil bahwa wanita hamil dan menyusui itu membayar fidyah saja tanpa qadha, ini adalah pendalilan yang lemah.

Yang benar adalah pendapat jumhur salaf dan khalaf serta para imam rahimahumullah, dan juga pendapat yang dinukil dari sejumlah imam dari tabi’in dan imam madzhab yang empat, bahwa wanita yang hamil dan menyusui tetap wajib meng-qadha. Bahkan ini juga merupakan pendapat dari sejumlah murid Ibnu ‘Abbas, dan mereka menyelisihi Ibnu ‘Abbas dalam hal ini. Apa yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas dan juga pendapat Ibnu Umar2, pendapat sahabat jika mengandung kemungkinan ijtihad, padahal hukum asal dari Qur’an dan Sunnah mengatakan lain, sedangkan berlakunya hukum asal ini dikuatkan dengan pemahaman yang shahih, maka wajib untuk tetap berpegang pada hukum asal, dalam rangka wara’ kepada nash-nash dalil. Lebih lagi, mayoritas ulama salaf dan para imam rahimahumullah tidak mengamalkan fatwa Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Umar radhiallahu’anhuma. Karena dalil telah jelas menunjukkan bahwa orang tidak mampu menunaikan ibadah wajib pada suatu waktu, namun mampu menunaikannya di waktu lain, tidaklah gugur kewajiban untuk menunaikan ibadah wajib tersebut. Maksudnya, tidak gugur secara keseluruhan.

Hanya gugur ketika ia tidak mampu, namun ganti di kesempatan lain. Hukum asal ini berlaku bagi shalat, puasa dan lainnya yang termasuk ibadah badaniyyah. Kesimpulannya, wanita hamil dan menyusui wajib untuk meng-qadha.

Kemudian para ulama berbeda pendapat apakah mereka membayar fidyah atau tidak?

Dalam masalah ini ada 3 pendapat yang masyhur diantara imam madzhab yang empat –rahimahumullah– :

Pertama, wajib meng-qadha dan membayar fidyah jika khawatir kepada anaknya. Ini pendapat madzhab Asy Syafi’i, madzhab Hambali, pendapat Mujahid rahimahumullah.

Kedua, mereka meng-qadha saja tanpa membayar fidyah. Ini adalah pendapat sejumlah imam salaf seperti Ibrahim An Nakha’i, Al Hasan Al Bashri, Imam Muhammad Ibnu Syihab Az Zuhri, Sufyan Ats Tsauri, Abu Tsaur, Ibrahim bin Khalid bin Yazid Al Kalbi, Abu Ubaid Al Qasim bin Salam, Abu Hanifah dan murid-muridnya, yaitu hanya wajib meng-qadha saja. Pendapat ini sangat kuat dilihat dari sisi dalil dan kecocokan terhadap hukum asal.

Adapun Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad menggabungkan hukum asal dengan fatwa Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Umar, sehingga mereka berpendapat wajib qadha dan fidyah. Namun dari sisi dalil dan kekuatan pendalilan, tidak ragu lagi bahwa pendapat kedua ini lebih kuat dan lebih mendekari kebenaran, insya Allah Ta’ala

Imam Ahmad rahimahullah berpendapat demikian karena beliau itu sangat wara’(hati-hati). Maka pendapat adanya tambahan fidyah selain qadha, ini pendapat yang wara’. Jika ada yang berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui, khususnya jika udzur berkaitan dengan orang lain semisal anak yang disusui, selain meng-qadha mereka juga membayar fidyah, ini lebih afdhal.

Ketiga, pendapat Imam Malik rahimahullah yang merinci: wanita hamil mutlak wajib meng-qadha tanpa fidyah, sedangkan wanita menyusui jika khawatir pada anak yang disusui, wajib meng-qadha dan membayar fidyah, jika hanya khawatir pada diri sendiri, hanya qadha. Beliau menganggap bahwa udzur yang ada pada wanita hamil dan janinnya itu muttashil (berhubungan), sedangkan udzur pada wanita menyusui dan anak yang disusui itu munfashil (tidak berhubungan). Yang muttashil tidak wajib fidyah, dan yang munfashil wajib fidyah.

Bagaimanapun, pendapat yang kuat sebagaimana telah kami jelaskan adalah pendapat kedua, wajib qadha tanpa fidyah.

[Sampai di sini nukilan dari Syaikh Muhammad bin Muhammad Al Mukhtar3]

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah ketika ditanya tentang hal ini beliau menjawab:

“Wanita hamil dan menyusui sebagaimana hukumnya orang sakit. Jika mereka mendapat kesulitan dengan berpuasa, mereka boleh untuk tidak berpuasa. Lalu mereka wajib untuk meng-qadha setiap harinya sesuai kemampuan mereka, sebagaimana orang sakit. Sebagian ulama berpendapat bahwa mereka hanya wajib membayar fidyah. Pendapat ini yang sangat lemah. Yang benar, mereka wajib meng-qadha sebagaimana musafir dan orang sakit. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 184)

Hal ini juga berdasarkan hadits Anas bin Malik Al Ka’bi, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إن الله وضع عن المسافر الصوم وشطر الصلاة، وعن الحبلى والمرضع الصوم

Allah Ta’ala menggugurkan puasa dan sebagian shalat bagi musafir. Dan menggugurkan puasa dari wanita hamil‘ (HR. Al Khamsah)”

[Maj’mu Fatawa Wal Maqalah Mutanawwi’ah, juz 15, dinukil dari http://binbaz.org.sa/mat/476 ]

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah juga berpendapat wajibnya qadha untuk semua keadaan wanita hamil dan menyusui, namun nampaknya beliau berpegang pada pendapat mazhab Hambali yaitu adanya fidyah jika wanita hamil atau menyusui khawatir pada anaknya. Beliau berkata:

“Dalam setiap keadaan, tetap wajib meng-qadha. Karena Allah Ta’ala telah mewajibkan puasa kepada setiap muslim. Dan Allah berfirman kepada musafir dan orang sakit:

فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Padahal musafir dan orang sakit boleh tidak puasa karena adanya udzur, namun qadha tidak gugur bagi mereka. Dengan demikian, orang yang mendapat udzur namun dalam keadaan santai itu min bab al aula (lebih layak) untuk tidak gugur qadha-nya.

Adapun tentang fidyah, ada tiga kondisi:

Pertama, jika khawatir pada dirinya sendiri, wajib meng-qadha saja, tidak ada tambahan lain.

Kedua, jika khawatir pada janin atau anak yang di susui, wajib meng-qadha dan membayar fidyah. Wajib meng-qadha, sudah jelas perkaranya, karena mereka tidak berpuasa. Adapun fidyah, dikarenakan mereka tidak berpuasa dalam rangka kemaslahatan orang lain, sehingga wajib membayar fidyah. Ibnu Abbas –radhiallahu’anhu– menafsirkan ayat :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184)

Ibnu Abbas berkata:

كانت رخصة للشيخ الكبير والمرأة الكبيرة وهما يطيقان الصيام يفطران ويطعمان عن كل يوم مسكيناً، والمرضع والحبلى إذا خافتا على أولادهما أفطرتا وأطعمتا” ، رواه أبو داود

Ini merupakan keringanan bagi orang tua renta, yang mereka tidak mampu berpuasa, mereka membayar fidyah. Dan juga hamil dan wanita menyusui jika khawatir kepada anaknya, maka mereka juga boleh tidak puasa dan membayar fidyah‘ (HR. Abu Daud)

Hal ini juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar

Ketiga, jika khawatir pada janin yang dikandung -penulis zaadul mustaqni tidak menyebut kondisi ini, mazhab hambali juga masukkan hal ini sebagai maslahah sang ibu- , wajib baginya untuk meng-qadha

[Dinukil dari Syarhul Mumti’ Syarh Zaadil Mustaqni, 6/223]

Pendapat lain dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar

Terdapat riwayat dalam Al Mushannaf Abdurrazaq (4/218)bahwa Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu memiliki pendapat lain yaitu beliau mewajibkan qadha tanpa fidyah.

عن الثوري ، وعن ابن جريج عن عطاء عن ابن عباس قال : تفطر الحامل والمرضع في رمضان ، وتقضيان صياما ولا تطعمان

Dari Ats Tsauri, dari Ibnu Juraij, dan Atha’, dari Ibnu Abbas, beliau berkata: ‘Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadhan, mereka berdua wajib meng-qadha tanpa fidyah‘”

Riwayat ini sanadnya shahih, semua perawinya tsiqah dan merupakan para perawi yang dipakai Bukhari-Muslim. Adapun Ibnu Juraij yang sering melakukan tadlis, karena dalam riwayat ini ia meriwayatkan secara ‘an’anah dari ‘Atha, maka dianggap sebagai sima’ dan tetap diterima. Sebagaimana diketahui dalam ilmu hadits, jika mudallis meriwayatkan dengan ‘an’anah dari orang yang ia biasa diambil haditsnya oleh perawinya, maka tetap diterima.

Karena tidak diketahui mana pendapat Ibnu ‘Abbas yang terakhir, maka dapat kita katakan bahwa dalam hal ini Ibnu ‘Abbas memiliki 2 pendapat. Wallahu’alam.

Terdapat juga riwayat lain dalam Sunan Al Kubra Al Baihaqi, dari Ibnu ‘Umar bahwa beliau juga mewajibkan qadha selain fidyah.

عن ابن عمر أن امرأة حبلى صامت في رمضان فاستعطشت ، فسئل عنها ابن عمر : فأمرها أن تفطر وتطعم كل يوم مسكينا مدا ثم لا يجزيها فإذا صحت قضت

Dari Ibnu Umar, ada seorang wanita hamil yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian ia kehausan. Wanita ini bertanya kepada Ibnu ‘Umar, lalu beliau memerintahkan wanita tersebut untuk tidak berpuasa dan membayar fidyah. Kemudian Ibnu ‘Umar tidak menganggap itu cukup, ia memerintahkan jika ia sudah sehat ia wajib meng-qadha” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra, 4/230).

Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi4 menyatakan bahwa sanad riwayat tersebut terdapat kritikan. Karena dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Abdirrahman bin Abi Labibah. Ibnu Hajar berkata: “Ia lemah, sering memursalkan hadits” (Taqrib At Tahdzib, no.6080).

Terdapat penguat dari riwayat lain untuk riwayat Ibnu ‘Abbas dalam Al Muhalla (4/251) milik Ibnu Hazm:

كَمَا رُوِّينَا مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ الرَّزَّاقِ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: تُفْطِرُ الْحَامِلُ، وَالْمُرْضِعُ فِي رَمَضَانَ وَيَقْضِيَانِهِ صِيَامًا وَلا إطْعَامَ عَلَيْهِمَا

Sebagaimana yang kami riwayatkan, dari Abdurrazaq, dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha, dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata: ‘Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadhan, mereka berdua wajib meng-qadha tanpa fidyah‘”

Menurut Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi, adanya kesamaan sanad antara riwayat ini dengan riwayat Ibnu ‘Umar dalam Sunanul Kubra Al Baihaqi, ada 2 kemungkinan:

Pertama, mungkin ‘Abdurrazaq salah dalam menyebut Ats Tsauri

Kedua, mungkin Ats Tsauri Ibnu ‘Abbas memiliki fatwa serupa dengan Ibnu ‘Umar Ibnu ‘Abbas5.

Kedua kemungkinan ini tidak menafikan keshahihan sanadnya.

Dengan demikian, pendapat yang menyatakan wajib qadha tanpa fidyah untuk semua keadaan didukung pula oleh Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, bahkan Ibnu ‘Abbas menyatakan meralat pendapatnya. Ini pun sekaligus membantah pendapat adanya fidyah bagi yang khawatir kepada anaknya.

Kesimpulannya, wanita hamil dan menyusui baik khawatir kepada dirinya, atau kepada anaknya, atau kepada keduanya, boleh tidak berpusa dan wajib meng-qadha di hari lain, tanpa fidyah. Namun bagi yang khawatir kepada anaknya, lebih afdhal jika selain qadha juga membayar fidyah.

Kapan wanita hamil dan menyusui meng-qadha?

Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya: “Seorang wanita, Ramadhan tahun yang lalu tidak berpuasa karena sakit yang harus selalu di cuci darah. Dan ia belum bisa puasa karena tidak mampu. Lalu Ramadhan tahun ini, ia hamil dan sudah berusaha puasa beberapa hari namun tidak bisa melanjutkan karena khawatir pada janinnya. Kapan ia meng-qadha puasa tahun sebelumnya mengingat belum adanya kemampuan?”

Beliau menjawab:

“Ia boleh menundanya insya Allah sampai melahirkan. Karena Allah berfirman:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

barangsiapa yang sakit atau sedang safar maka ia menggantinya di hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 184)

dan wanita hamil itu semisal dengan orang yang sakit. Maka ia pun meng-qadha sebagaimana yang orang sakit. Dan kewajiban qadha ini ditunda sampai ia nanti sudah kuat untuk meng-qadha-nya”6.

[selesai nukilan]

Maka wanita hamil dan menyusui meng-qadha puasanya ketika ia sudah mendapati kemampuan.

Dan perlu diketahui bahwa ibu hamil dan menyusui secara medis dan juga berdasarkan urf, sebagian mereka mampu untuk berpuasa. dr. Setyorini SpOG menyatakan: “Bagi ibu hamil dan menyusui yang ingin tetap beribadah shaum adalah suatu hal yang mulia, akan tetapi harus mengupayakan agar kesehatan ibu dan janin serta bayinya tidak terganggu. Kondisi fisik seorang wanita dalam menghadapi kehamilan dan saat-saat menyusui memang berbeda-beda, namun, kalori yang dibutuhkan untuk memberi asupan bagi sang ibu dan sang buah hati adalah sama, yaitu sekitar 2200-2300 kalori perhari untuk ibu hamil dan 2200-2600 kalori perhari untuk ibu menyusui. Kondisi inilah yang menimbulkan konsekuensi yang berbeda bagi para ibu dalam menghadapi saat-saat puasa di bulan Ramadhan. Ada yang merasa tidak bermasalah dengan keadaan fisik dirinya dan sang bayi sehingga dapat menjalani puasa dengan tenang. Ada pula para ibu yang memiliki kondisi fisik yang lemah yang mengkhawatirkan keadaan dirinya jika harus terusberpuasa di bulan Ramadhan begitu pula para ibu yang memiliki buah hati yang lemah kondisi fisiknya dan masih sangat tergantung asupan makanannya dari sang ibu melalui air susu sang ibu”7.

dr. Prima Progestian SpOG. menyatakan, “Apabila wanita hamil atau sedang menyusui merasa kuat dalam berpuasa maka ia dapat melakukan puasa dengan tidak memaksakan diri. Tubuh akan membunyikan “alarm” apabila terasa membahayakan bagi diri ibu maupun janin yang dikandungnya. Dan apabila terjadi demikian sebaiknya segera membatalkan puasa demi kemaslahatan diri dan janinnya.

Pada masa menyusui kalori yang dibutuhkan bukan berkurang malah harus bertambah 300-500 kalori jika dibanding ibu hamil ! Asupan kalori dalam bentuk makanan dan minuman berkaitan langsung dengan jumlah air susu ibu (ASI) yang keluar. Semakin banyak asupan kalori dan nutrisi maka akan semakin banyak dan bergizi ASI yang dihasilkan. Seringkali setelah menyusui timbul rasa lapar yang sangat serta produksi ASI yang berkurang ketika kurangnya asupan nutrisi. Sehingga kecukupan kalori ibu menyusui amat penting bagi keberhasilan menyusui.

Apabila dalam masa hamil dan menyusui seorang ibu masih mendapatkan kenaikan berat badan (pertanda cukupnya asupan kalori) dan tidak ada hambatan pada kehamilan dan keluarnya ASI maka berpuasa lebih baik dilaksanakan. Berpuasa tidaklah berarti mengurangi makan dan minum namun lebih berarti memindah jadwal makan.

Secara medis apabila ibu hamil berpuasa ternyata tidak berdampak pada penurunan kesehatan bayi yang dilahirkan (berat badan bayi dan nilai APGAR saat lahir), tidak berdampak pada penurunan IQ bayi dan tidak secara bermakna berpengaruh terhadap kadar glukosa darah pada hamil muda (namun berpengaruh pada hamil tua). Sedangkan di Nigeria dilakukan penelitian pada ibu menyusui didapatkan tidak ditemukan penurunan jumlah air susu ketika berpuasa dan mengkonsumi lebih banyak air ketika buka dan sahur”8.

Oleh karena itu wanita hamil dan menyusui bisa kita bagi menjadi tiga keadaan:

  1. Jarak kehamilannya jauh, sehingga ada jeda waktu dimana ia tidak hamil dan tidak menyusui.
    Maka wanita yang demikian memiliki keluasan waktu untuk meng-qadha, ia bisa meng-qadha puasa di waktu jeda tersebut, atau juga bisa meng-qadha selama masa hamil berikutnya atau menyusui berikutnya (jika hutang puasa belum lunas) selama ia merasa mampu dan tidak membahayakan kesehatannya atau bayinya.
    Dan memang hendaknya jarak kehamilan tidak terlalu dekat, selain bisa meng-qadha puasa juga, lebih memudahkan orang tua dalam mendidik anak dan faedah lainnya. Walhamdulillah ini juga yang dipraktekkan kebanyakan pasangan pasutri di negeri kita.
  2. Jarak kehamilannya dekat, sehingga tidak ada jeda waktu dimana ia tidak hamil dan tidak menyusui, namun ia wanita yang mampu berpuasa di masa hamil dan menyusui.
    Maka ia bisa meng-qadha selama masa hamil berikutnya atau menyusui berikutnya (jika hutang puasa belum lunas) selama ia merasa mampu dan tidak membahayakan kesehatannya atau bayinya. Ia juga bisa meng-qadha puasa ketika sudah tidak hamil dan menyusui lagi, walaupun hutang puasanya bertumpuk untuk beberapa tahun. Karena syariat memberikan keluasan dalam meng-qadha puasa, yaitu tidak harus dilaksanakan secara berturutan.
  3. Jarak kehamilannya dekat, sehingga tidak ada jeda waktu dimana ia tidak hamil dan tidak menyusui, namun ia bukan wanita yang mampu berpuasa di masa hamil dan menyusui.
    Misalnya seorang wanita melahirkan tiap 2 tahun sekali dalam kurun waktu 20 tahun, karena melahirkan 10 orang anak. Jika terjadi kasus demikian, maka ia bisa meng-qadha puasa ketika sudah tidak hamil dan menyusui lagi, walaupun hutang puasanya bertumpuk untuk beberapa tahun. Karena syariat memberikan keluasan dalam meng-qadha puasa, yaitu tidak harus dilaksanakan secara berturutan. Selain itu jika wanita yang demikian tidak meng-qadha puasa maka akan terluput baginya keutamaan ibadah puasa yang agung selama 20 tahun (tidak pernah merasakan puasa!) dan terluput dari berbagai faedah dari ibadah puasa yang banyak sekali.

Wallahu ta’ala a’lam

[Di susun oleh Yulian Purnama, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya dan kedua orang tuanya]

1 Beliau adalah pengajar di Masjid Nabawi dan dosen di Universitas Malik Su’ud di Jeddah. Silakan membaca tulisan beliau di web beliau: http://www.shankeety.net

2 Syaikh Muhammad Al Mukhtar berkata: “Bagi yang mengira bahwa yang berpendapat demikian hanya Ibnu ‘Abbas saja, mungkin dia belum menelaah keshahihan sanad dari Ibnu Umar”

3 Diambil dari http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=4563 terakhir diakses tanggal 4 Agustus 2010

4 Beliau salah seorang ‘alim pengasuh forum sahab, silakan membaca biografi dan tulisan beliau di web beliau http://www.otiby.net/

5 Penjelasan ini saya nukil dari forum sahab: http://www.sahab.net/forums/showthread.php?p=669233,terakhir diakses tanggal 4 Agustus 2010

6 Sumber: http://www.youtube.com/watch?v=bCABSxVN3y4

7 Sumber: http://web.rshs.or.id/puasa-atau-shaum-selama-kehamilan-dan-menyusui-bolehkah/

8 Sumber: http://drprima.com/kehamilan/hukum-puasa-bagi-ibu-hamil-dan-menyusui.html