Apakah ayat ini:
وَالسَّلامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا
“Dan keselamatan semoga dilimpahkan kepadaku (Isa ‘alaihissalam), pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali” (QS. Maryam: 33)
adalah dalil bolehnya mengucapkan selamat natal atau bahkan dalil bolehnya natalan?
Jawab:
Mari kita lihat pemahaman para ahli tafsir mengenai ayat ini:
- Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan: “dalam ayat ini ada penetapan ubudiyah Isa kepada Allah, yaitu bahwa ia adalah makhluk Allah yang hidup dan bisa mati dan beliau juga akan dibangkitkan kelak sebagaimana makhluk yang lain. Namun Allah memberikan keselamatan kepada beliau pada kondisi-kondisi tadi (dihidupkan, dimatikan, dibangkitkan) yang merupakan kondisi-kondisi paling sulit bagi para hamba. Semoga keselamatan senantiasa terlimpah kepada beliau” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim, 5-230)
- Al Qurthubi menjelaskan: “[Dan keselamatan semoga dilimpahkan kepadaku] maksudnya keselamatan dari Allah kepadaku -Isa-. [pada hari aku dilahirkan] yaitu ketika di dunia (dari gangguan setan, ini pendapat sebagian ulama, sebagaimana di surat Al Imran). [pada hari aku meninggal] maksudnya di alam kubur. [dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali] maksudnya di akhirat. karena beliau pasti akan melewati tiga fase ini, yaitu hidup di dunia, mati di alam kubur, lalu dibangkitkan lagi menuju akhirat. Dan Allah memberikan keselamatan kepada beliau di semua fase ini, demikian yang dikemukakan oleh Al Kalbi” (Al Jami Li Ahkamil Qur’an, 11/105)
- Ath Thabari rahimahullah menjelaskan: “Maksudnya keamanan dari Allah terhadap gangguan setan dan tentaranya pada hari beliau dilahirkan yang hal ini tidak didapatkan orang lain selain beliau. Juga keselamatan dari celaan terhadapnya selama hidupnya. Juga keselamatan dari rasa sakit ketika menghadapi kematian. Juga keselataman kepanikan dan kebingungan ketika dibangkitkan pada hari kiamat sementara orang-orang lain mengalami hal tersebut ketika melihat keadaan yang mengerikan pada hari itu” (Jami’ul Bayan Fi Ta’wilil Qur’an, 18/193)
- Al Baghawi rahimahullah menjelaskan: “[Dan keselamatan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan] maksudnya keselamatan dari gangguan setan ketika beliau lahir. [pada hari aku meninggal] maksudnya keselamatan dari syirik ketika beliau wafat. [dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali] yaitu keselamatan dari rasa panik” (Ma’alimut Tanzil Fi Tafsiril Qur’an, 5/231)
- Dalam Tafsir Al Jalalain (1/399) disebutkan: “[Dan keselamatan] dari Allah [semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali]”
- As Sa’di menjelaskan: “Maksudnya, atas karunia dan kemuliaan Rabb-nya, beliau dilimpahkan keselamatan pada hari dilahirkan, pada hari diwafatkan, pada hari dibangkitkan dari kejelekan, dari gangguan setan dan dari dosa. Ini berkonsekuensi beliau juga selamat dari kepanikan menghadapi kematian, selamat dari sumber kemaksiatan, dan beliau termasuk dalam daarus salam. Ini adalah mu’jizat yang agung dan bukti yang jelas bahwa beliau adalah Rasul Allah, hamba Allah yang sejati” (Taisir Kariimirrahman, 1/492)
Demikianlah penjelasan para ahli tafsir, yang semuanya menjelaskan makna yang sama garis besarnya. Tidak ada dari mereka yang memahami ayat ini sebagai dari bolehnya mengucapkan selamat kepada hari raya orang nasrani apalagi memahami bahwa ayat ini dalil disyariatkannya memperingati hari lahir Nabi Isa ‘alaihis salam.
Oleh karena itu, kepada orang yang berdalil bolehnya ucapan selamat natal atau bolehnya natalan dengan ayat ini, berikut beberapa poin sanggahannya:
- Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang menerima ayat ini dari Allah tidak pernah memahami bahwa ayat ini membolehkan ucapkan selamat kepada hari raya orang nasrani atau bolehnya merayakan hari lahir Nabi Isa ‘alahissalam. Dan beliau juga tidak pernah melakukannya.
- Para sahabat Nabi yang ada ketika Nabi menerima ayat ini dari Allah pun tidak memahami demikian.
- Ayat ini bukti penetapan ubudiyah Isa ‘alaihis salam kepada Allah. Karena beliau hidup sebagaimana manusia biasa, bisa mati, dan akan dibangkitkan pula di hari kiamat sebagaimana makhluk yang lain. Dan beliau mengharap serta mendapat keselamatan semata-mata hanya dari Allah Ta’ala. Ini semua bukti bahwa beliau adalah hamba Allah, tidak berhak disembah. Sehingga ayat ini justru bertentangan dengan esensi ucapan selamat natal dan ritual natalan itu sendiri, yang merupakan ritual penghambaan dan penyembahan terhadap Isa ‘alaihissalam. Jadi tidak mungkin ayat ini menjadi dalil ucapan selamat natal atau natalan.
- Para ulama menafsirkan السَّلامُ (as salaam) di sini maknanya adalah ‘keselamatan dari Allah‘, bukan ucapan selamat.
- Baik, katakanlah kita tafsirkan ayat ini dengan akal-akalan cetek kita, kita terima bahwa السَّلامُ (as salaam) di sini maknanya ucapan selamat. Lalu kepada siapa ucapan selamatnya? السَّلامُ عَلَيَّ ‘as salaam alayya (kepadaku)’, berarti ucapan selamat seharusnya kepada Nabi Isa ‘alaihissalam. Bukan kepada orang nasrani.
- Baik, andai kita pakai cara otak-atik-gathuk dan tidak peduli tafsiran ulama, kita terima bahwa السَّلامُ (as salaam) di sini maknanya ucapan selamat. Lalu kapan diucapkannya? يَوْمَ وُلِدْتُ ‘hari ketika aku dilahirkan‘, yaitu di hari ketika Nabi Isa dilahirkan. Nah, masalahnya mana bukti otentik bahwa Nabi Isa lahir tanggal 25 Desember??
Katakanlah ada bukti otentik tentang tanggal lahir Nabi Isa, lalu masalah lain, ingin pakai penanggalan Masehi atau Hijriah? Pasti akan berbeda tanggalnya. Berdalil dengan ayat Qur’an, tapi koq dalam kasus yang sama pakai sistem penanggalan Masehi? Ini namanya tidak konsisten dalam berdalil. - Pada kitab orang Nasrani sendiri tidak ada bukti otentik dan dalil landasan perayaan hari lahir Isa ‘alaihissalam. Beliau tidak pernah memerintahkan umatnya untuk mengadakan ritual demikian. Mengapa sebagian kaum muslimin malah membela bahwa ritual natalan itu ada dalilnya dari Al Qur’an, dengan pendalilan yang terlalu memaksakan diri?
Pembahasan ini semata-mata dalam rangka nasehat kepada saudara sesama muslim. Kami meyakini sebagai muslim harus berakhlak mulia bahkan kepada non-muslim. Dan untuk berakhlak yang baik itu tidak harus dengan ikut-ikut mengucapkan selamat natal atau selamat pada hari raya mereka yang lain. Akhlak yang baik dengan berkata yang baik, lemah lembut, tidak menzhalimi mereka, tidak mengganggu mereka, menunaikan hak-hak tetangga jika mereka jadi tetangga kita, bermuamalah dengan profesional dalam pekerjaan, dll. Karena harapan kita, mereka mendapatkan hidayah untuk memeluk Islam. Dengan ikut mengucapkan selamat natal, justru membuat mereka bangga dan nyaman akan agama mereka karena kita pun jadi dianggap ridha dan fine-fine saja terhadap agama dan keyakinan kufur mereka.
Wabillahi at taufiq was sadaad
bgmn kalau mengucapkan/ menulis;
1) selamat natal duhai yesus kristus rasulullah
2) selamat natal saudaraku / sahabatku / temanku kelak engkau kan tahu (QS.Az-Zuhruf.89)
tanggapan; bagaimana jika “salam” ditafsiri bukan keselamatan seperti artikel di atas namun ditafsiri sebagai ucapan “selamat tinggal kelak kau tahu pembalasannya: (QS Az-Zuhruf89)
Khan sudah saya katakan, mengartikan as salam di ayat ini dengan ucapan selamat adalah contoh menafsirkan Qur’an dengan akal-akalan cetek dan metode otak-atik-gathuk.
Coba baca ini:
Terjemahan :
Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari mereka dan katakanlah: ‘Salam (selamat tinggal)’. Kelak mereka akan mengetahui (nasib mereka yang buruk).
(QS Az-Zukhruf 89)
Apa maksud anda ingin menggunakan lafal سَلَام salamun dalam ayat ini untuk konteks ayat surat Maryam 33, sehingga tercapailah kesimpulan boleh mengucapkan selamat natal? Jika demikian, nah, inilah yang namanya othak-athik-gathuk. Bongkar-pasang sana sini, demi mencapai tujuan yang diinginkan.
Pertama, para ulama berbeda pendapat mengenai memulai ucapan salam kepada non-muslim. Yang dimaksud ucapan salam di sini adalah mendoakan keselamatan semacam “assalamu’alaikum“. Jika ini pembahasannya, maka Zuhkruf ayat 89 ini salah satu dalil yang dibahas. Namun kalau untuk membahas selamat natal, maka tidak nyambung.
Kedua, jika kita membaca keseluruhan ayat, dan juga berdasarkan keterangan para ulama ahli tafsir, makna ayat ini jelas. Yaitu, Nabi mengajak orang kafir Quraisy untuk beriman menyembah Allah semata dengan menyampaikan segala argumen, namun mereka menolak. Maka ya sudah, tinggalkan, tidak perlu ngotot jika memang mereka ngeyelan. Kira-kira demikian ringkasnya.
Ketiga, sebagian ulama mengatakan ayat ini Makiyyah sehingga terjadi ketika kaum muslimin masih lemah, belum diperintahkan jihad. Adapun setelah diperintahkan jihad, maka jika mereka ngeyel, perangi sampai mereka bersyahadat. Dalam Tafsir Al Jalalain disebutkan:
Keempat, jadi andai mau mencoba berdalil dengan ayat ini untuk membolehkan selamat natal (walaupun pendalilannya tidak benar), maka seharusnya sebelum mengatakan selamat natal ajak dahulu orang yang anda beri selamat untuk masuk Islam dengan berbagai argumen.
Kelima, سَلَام salamun dalam Zukhruf 89 ini maknanya bara’ah (tidak suka dan berlepas diri) sambil mendoakan keselamatan. Beda dengan ucapan selamat natal yang maknanya apreciate, mendoakan semoga natalannya baik, lancar, bahagia, sama sekali tidak menunjukkan rasa tidak suka dan keberlepas-dirian.
Keenam, sudah saya katakan beberapa kali di atas, andai kita maknai as salaam dalam Maryam 33 itu dengan ucapan selamat, pun tetap tidak nyambung dengan selamat natal dan tetap menjadi pendalilan yang nyeleneh dan terlalu dipaksakan.
Ketujuh, mohon renungkan kembali apa yang ada di artikel ini: https://kangaswad.wordpress.com/2012/12/01/menafsirkan-quran-tanpa-ilmu/
Setuju. Saya cuma mengomentari Mtr Chan, bahwa terjemahan QS Az-Zukhruf 89 yg dia tulis tdk lengkap.
Biasakanlah tidak mengucapkan selamat, maka mereka akan terbiasa tidak menerima ucapan itu.
setelah membaca diatas maka kira2 diambil kesimpulan ;
1) muslim tidak boleh mendo’akan nasrani (kristen / katholik) tentang keselamatan dan termasuk semua urusan ritual peribadatannya semisal ungkapan “selamat natal” karna “salam” dimaknai sbg “assalamualaikum” surat Maryam diatas
2) banyak sekali media informasi, sejak dahulu hingga mengglobalnya internet menjelaskan tentang ketuhanan, Kita / Muslimin yaqin mereka telah mendengar / membacanya, sehingga kitapun merasa telah mengajaknya namun dasar tidak iman maka mengapa tidak boleh mengungkapkan “salam natal saudaraku kelak kaupun tahu” maksud; selamat tinggal natal untuk saudaraku kelak kau tahu (QS Azzukhruf 81-89)
3) tak terbayangkan oleh kita, jika muslim berperang (jihad) dgn nasrani / lainnya karna mereka tidak mau bersahadat tanpa sebab lain, Negara2 timur tengah termasuk arab saudipun banyak nasroni, Allah swt takhenti2nya memberi semua fasilitas kehidupannya dibumi dan Nabi Muhammad saw rahmatan lil ‘alamin
4) menurut artikel diatas, surat Maryam 33 berkontek terhadap Nabi Isa AS, sedangkan Azzukhruf 81-89 berkontek kepada org2 nasrani (kristen / katholik)
Maaf, pemahaman anda terhadap tulisan saya masih salah, tolong dibaca lagi sampai paham.
Mohon jangan terlalu memaksakan Zukhruf 89 untuk membenarkan pendapat anda, secara ilmu tafsir, secara teks dan konteks, sangat tidak sesuai. Akan sesuai hanya dengan 1 cara: memaksa-maksakan.
alhamdulillah, berdasarkan tanggapan saya yang sedikit sekali pada no; 1 , 2 , 3 , dan 4 maka ungkapan “salam natal buat kamu kelak kaupun tahu” adalah dibolehkan dan dibenarkan :)
waduh mas, sudah saya katakan pemahaman anda salah koq masih begitu. hati-hati jangan menyimpulkan hukum halal/haram dari ayat-ayat Qur’an dengan cara memaksakan dalil.
dan yang agak menggelitik bagi saya, beranikah anda mengatakan “salam natal buat kamu kelak kaupun tahu” kepada orang nasrani. nanti kalau dia tanya “tahu apanya?” anda jawab apa hayo?
± ” dialek jowo “±
la wong dikandani yahono-yahene kok tetep ora ngandel babar blas, yowis nek ngono “kariho selamet ae naaang”
tulisan itu pernah kita denger di sebagian banyak org jawa
(Azzukhruf 81-89) “majas”
asslm, wah ini tulisan yang bermanfaat sekali, izin copas dan share ya kang, semoga menjadi amal ibadah ilmu yang bermafaat. amin terimaksih.
lhah kok repot amat sih ngurusi agama orang…? mendiskusikannya lagi…dlsb….coba mereka yg non muslim mengadakan seminar soal agama islam? pada ribut tho yg musllim….? indonesia itu bhineka tunggal ika, pancasila, uud 45, itu yg bikin kuat, ngga usah dikotak-kotakin, solidaritas tenggang rasa, memandang manusia sebagai manusia, …..BUKAN KEYAKINAN ANDA YG MEMBUAT ANDA BIJAKSANA, TAPI ANDA SENDIRI SEBAGAI MANUSIA…..masalah keyakinan itu urusannya sama yg di ATAS, anda dengan TUHAN/NABI/DEWA anda….bukan antar sesama manusia
Mungkin anda tidak paham tulisan di atas. Jelas tulisan ini membahas orang muslim yang mengucapkan selamat Natal. Jadi yang saya urusi adalah agama saya.
Saya maklumi jika memang anda belum paham.
assalamu’alaikum.. subhanallah kang trimakasih atas tulisan artikelnya karna dengan penjelasan di atas ana bisa buat jadikan bahan referensi syukron katsiron, jazakumullahu khairan..
Menurut saya mantan kristen
Mengucapkan Natal sama saja bilang :
“Selamat Anak Allah Telah Lahir” atau “Selamat Lahir Anak Allah” atau “Selamat Allah Telah Lahir ke Dunia”
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Bagimu agamamu, bagiku agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6).
pada tanggal 25 desember itu bukan tanggal kelahiran nabi isa.as. pada tanggal itu lahirnya Dewa Matahari
Kalau diamati 6 tafsir terkait Qs. Maryam 33 diatas tidak ada kaitannya dengan tafsir atau paham lain tentang dibolehkannya memberi salam natal kepada saudara kristen. Ini adalah dua sudut pandang yang yang berbeda. Dan bisa jadi nanti juga muncul paham baru atas ayat diatas.
Apa argumentasinya kalau ayat quran hanya bisa atau boleh dipahami oleh ulama terdahulu, dan menutup penafsiran lain dari sudut pandang yang lain oleh umat islam atau ulama yang datang kemudian ?.
Poinnya adalah, tafsiran pada pembela selamat Natal adalah tafsiran nyeleneh. Bahkan nyeleneh-nya bertingkat-tingkat, nyeleneh dari sisi ilmu fikih Islam, nyeleneh dari sisi ilmu tafsir dan nyeleneh dari sisi bahasa Arab. Bahkan saya katakan, nyeleneh secara logika juga.
Pak Aji Soko, semoga anda dirahmati oleh Allah, Al Qur’an itu firman Allah maka maknanya disesuaikan dengan apa yang diinginkan Allah. Bukan sesuai keinginan kita. Darimana kita tahu? Ya dari firman Allah juga dan dari sabda Rasul-Nya. Makanya dalam ilmu tafsir, metode menafsirkan Al Qur’an adalah tafsir ayat Qur’an dengan ayat Qur’an yang lain, atau menafsirkan ayat Qur’an dengan hadits Nabi. Dan ditambahkan juga penafsiran pada sahabat Nabi yang memang diajarkan Nabi makna-makna ayat Al Qur’an.
Nah yang paham semua itu adalah para ulama, bukan sembarang orang. Itulah mengapa kita harus merujuk pada para ulama dalam menafsirkan Al Qur’an, bukan menafsirkan dengan logika dan opini.
Silakan simak:
Pertanyaan selanjutnya mengapa dikalangan ulama juga ada perbedaan pendapat. Apakah perbedaan itu menunjukkan ada pendapat yang benar dan ada yang salah, atau dua-duanya salah atau dua-duanya benar ? Atau juga salah satunya tidak memahami cara menafsirkannya secara benar ?
Perbedaan pendapat itu wajar, karena tidak ada orang yang menguasai semua ilmu. Bisa jadi ulama A tahu tentang hadits yang menafsirkan suatu ayat, namun ulama B tidak tahu. Atau semisalnya.
Yang jelas, ketika ada perbedaan pendapat bukan berarti semua pendapat jadi salah, dan juga bukan berarti semua pendapat itu dianggap benar. Pendapat yang didasari dalil yang shahih dan benar pendalilannya maka diterima, adapun pendapat yang tanpa landasan dalil tidak bisa diterima.
Contoh, ulama A menafsirkan suatu ayat dengan hadits A1 yang shahih, ulama B menafsirkan dengan hadits B1 yang shahih juga. Maka penafsiran ulama A dan B bisa diterima semua. Jika ada ulama C, kebetulan dia tidak tahu ada hadits A1 dan B1, dia menafsirkan dengan opini saja, maka tidak bisa diterima pendapatnya. Tentu tanpa merendahkan ulama C karena bisa jadi di ayat yang lain dia menafsirkan dengan dalil yang shahih juga.
Lalu apa salahnya kalau ada tafsiran yang membolehkan ucapan selamat natal ? Apa karena penafsirnya tidak dikenal sebagai ulama ? Lalu bagaimana jika penafsirnya dikenal sebagai ulama besar apakah akan diakui ?
Ya jelas salah. Karena bukan itu makna dari ayat tersebut, bukan itu makna yang diinginkan Allah dan tidak bisa dijadikan dasar untuk pembolehan selamat Natal karena ngga nyambung. Please, ayat Qur’an jangan dipermainkan.
Saya kasih contoh lagi, mudah-mudahan anda sadar, ayat:
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“dan dirikanlah shalat untuk mengingatku”
andai opini semua orang diterima untuk menafsirkan Al Qur’an, ada yang menjadikan ayat ini dalil bahwa shalat 5 waktu itu tidak wajib yang penting ingat Allah.
Ataukah kita katakan “lalu apa salahnya kalau ada tafsiran yang mengatakan shalat 5 waktu itu wajib” ?
Pola pikir kang Aswad menurut saya juga nyeleneh dalam beberapa hal. 6 rujukan tafsir yang digunakan atas Qs. maryam 33 seolah menutup tafsiran dari ulama lain dari sudut pandang yang lain. Atau dengan kata lain memaksa umat islam menerima tafsiran yang sudah ada dari sudut pandang ulama bersangkutan.
Perhatikan “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang menerima ayat ini dari Allah tidak pernah memahami bahwa ayat ini membolehkan ucapkan selamat kepada hari raya orang nasrani atau bolehnya merayakan hari lahir Nabi Isa ‘alahissalam. Dan beliau juga tidak pernah melakukannya.
Para sahabat Nabi yang ada ketika Nabi menerima ayat ini dari Allah pun tidak memahami demikian”.
Menurut Kang Aswad apakah peringatan maulid nabi juga masuk kategori salah karena nabi tidak pernah menganjurkan umatnya untuk merayakannya ?
Perhatikan lagi: “Para ulama menafsirkan السَّلامُ (as salaam) di sini maknanya adalah ‘keselamatan dari Allah‘, bukan ucapan selamat”.
Kalau boleh saya pahami dengan bahasa lain pernyataan itu maka bunyinya Alloh hanya memberikan keselamatan tanpa mengatakannya. Aneh dan nyeleneh… seolah perbuatan Alloh memberi keselamatan kepada nabi Isa itu tabu dibicarakan. Anehnya lagi kenapa itu diungkapkan dalam firman Alloh ?
Tidak ada ulama tafsir yang memahami seperti pemahaman anda. Kecuali orang-orang zaman sekarang yang di-‘ulama’-kan, ucapan mereka tidak teranggap tentunya.
Merayakan Maulid Nabi memang terlarang, Nabi sendiri tidak pernah mengajarkan hal itu. Orang yang merayakan Maulid Nabi sejatinya ya hanya ikut-ikutan kaum Nasrani yang merayakan Natal.
Saya kira penjelasan saya sudah cukup jelas, saya tidak berselera lagi untuk melanjutkan diskusi ini, selama anda berkeyakinan semua orang bebas menafsirkan Al Qur’an. Sebuah konsep pemikiran ala kaum Liberal.
Silakan simak lagi penjelasan-penjelasan di atas. Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah. Ada pesan hikmah dari seorang sahabat Nabi, “lebih baik rujuk kepada kebenaran, daripada bersikeras untuk tetap berada dalam kebatilan“