Bagaimana hukumnya orang yang menjadi makmumnya ahlul bid’ah? Apakah diperbolehkan seseorang mendirikan shalat berjamaah di asrama, dengan alasan masjid terdekat dari asrama imam rawatibnya biasanya melakukan ritual bid’ah sedangkan masjid yang lain jaraknya jauh? Misalnya, jika kita berkeyakinan bahwa qunut subuh adalah suatu bid’ah, maka bagaimana hukumnya jika kita menjadi makmumnya imam yang selalu mengamalkan qunut subuh, apakah boleh? Jazakallahu khairan
Abu Abdirrahman
Alamat: Jl. Mulyosari, Surabaya
Email: emailkuxxxx@yahoo.com
Al Akh Yulian Purnama menjawab:
Pertama, shalat wajib berjama’ah di masjid hukum asalnya adalah wajib sebagaimana telah dijelaskan oleh Ustadz Kholid Syamhudi,Lc. Hafizhahullah pada artikel Hukum Shalat Berjama’ah Wajib Ataukah Sunnah.
Kedua, sebagaimana telah diketahui penanya bahwa membaca doa qunut pada shalat shubuh secara rutin adalah perkara baru dalam agama. Meskipun memang sebagian Syafi’iyyah dan Malikiyyah menganggapnya disyariatkan. Penjelasan mengenai hal ini cukup panjang, namun ringkasnya, pendapat yang benar adalah bahwa hal tersebut termasuk perkara baru dalam agama dengan alasan berikut:
- Praktek membaca Doa Qunut yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassallam berdasarkan banyak hadits adalah Qunut Nazilah, yaitu doa Qunut yang dibaca karena adanya musibah besar yang menimpa kaum muslimin. Dan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassallam mempraktekan hal tersebut tidak hanya pada shalat shubuh, namun pernah dilakukan pada seluruh shalat fardhu. Dan beliau tidak merutinkan membaca doa Qunut pada shalat shubuh meskipun memang praktek Qunut Nazilah yang beliau lakukan paling sering dilakukan ketika shalat shubuh. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyyah:
وكان هديه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ القنوت في النوازل خاصة ، وترْكَه عند عدمها ، ولم يكن يخصه بالفجر، بل كان أكثر قنوته فيها
“Petunjuk dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassallam dalam masalah Qunut adalah hanya melakukannya jika terjadi nazilah (musibah besar) saja. Dan tidak melakukannya jika tidak ada nazilah. Tidak pula mengkhususkannya pada shalat shubuh, walaupun memang beliau paling sering membaca Qunut Nazilah ketika shalat shubuh (Zaadul Ma’ad, 1/273)”
- Terdapat hadits shahih dari Abu Malik bin Sa’id Al Asy-ja’i yang tegas menunjukkan bahwa membaca qunut pada shalat shubuh secara rutin tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat:
عَنْ أَبِيهِ صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْتُ خَلْفَ أَبِي بَكْرٍ فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عُمَرَ فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَقْنُتْ وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عَلِيٍّ فَلَمْ يَقْنُتْ ، ثُمَّ قَالَ يَا بُنَيَّ إنَّهَا بِدْعَةٌ } رَوَاهُ النَّسَائِيّ وَابْنُ مَاجَهْ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
“Dari ayahku, ia berkata: ‘Aku pernah shalat menjadi makmum Nabi Shallallahu’alaihi Wassallam namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Abu Bakar namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Umar namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Utsman namun ia tidak membaca Qunut, Aku pernah shalat menjadi makmum Ali namun ia tidak membaca Qunut. Wahai anakku ketahuilah itu perkara bid’ah‘” (HR. Nasa-i, Ibnu Majah, At Tirmidzi. At Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”)
Dalam lafadz Ibnu Majah:قُلْت لِأَبِي يَا أَبَتِ إنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ بِالْكُوفَةِ نَحْوًا مِنْ خَمْسِ سِنِينَ أَكَانُوا يَقْنُتُونَ فِي الْفَجْرِ ؟ قَالَ : أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ
“Abu Malik berkata: ‘Wahai ayah, engkau pernah shalat menjadi makmum Nabi Shallallahu’alaihi Wassallam, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali di kufah selama kurang lebih 5 tahun. Apakah mereka membaca qunut di shalat shubuh?’. Ayahku berkata: ‘Wahai anakku, itu perkara baru dalam agama’“
- Sedangkan hadits yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wassallam membaca qunut di shalat shubuh hingga wafatnya, telah dijelaskan oleh para ulama bahwa bukan lah maknanya merutinkan qunut, jika dilihat dari praktek beliau.
وَأَمَّا حَدِيثُ أَنَسٍ { مَا زَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا } رَوَاهُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ : فَفِيهِ مَقَالٌ ، وَيُحْتَمَلُ : أَنَّهُ أَرَادَ بِهِ : طُولَ الْقِيَامِ ، فَإِنَّهُ يُسَمَّى قُنُوتًا
“Adapun hadits ‘Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassallam selalu qunut di shalat shubuh sampai berpisah dengan dunia‘ Hadits Riwayat Ahmad dan lainnya. Tentang makna Qunut di sini terdapat beberapa pendapat. Dan nampaknya maknanya adalah beliau shalat shubuh dengan waktu berdiri yang lama. Oleh karena itu dalam bahasa arab disebut juga Qunut” (Syarhu Muntahal Iradat, 45/2)
Ketiga, mengenai shalat dibelakang imam yang melakukan bid’ah, selama bukan bid’ah yang menyebabkan kekafiran maka persoalan ini dibagi menjadi 2 bagian:
1. Bolehkah dan sahkah shalatnya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kami bawakan nasehat yang bagus dari Syaikh Rabi bin Hadi Al Madkhali:
“Jika imam membaca doa qunut di shalat shubuh, maka ikutilah dia. Walau anda sebagai ma’mum berpendapat berbeda. Bahkan jika anda sebagai ma’mum menganggap shalat sang imam itu tidak sah menurut mazhab anda, namun sah menurut mazhab sang imam, anda tetap boleh berma’mum kepadanya. Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan demikian, beliau bersabda:
يُصَلُّونَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَإِنْ أخطؤوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Shalatlah kalian bersama imam, jika shalat imam itu benar, kalian mendapat pahala. Jika shalat imam itu salah, kalian tetap mendapat pahala dan sang imam yang menanggung kesalahnnya” (HR. Bukhari no.662)
Jika demikian, maka anda tetap boleh shalat bersama imam tersebut.
Demikian juga yang dipraktekan oleh para salaf. Suatu ketika Khalifah Harun Ar Rasyid pergi berhaji lalu singgah di Madinah, kemudian berbekam. Kemudian ia bertanya kepada Imam Malik: “Aku baru berbekam, apakah aku boleh shalat tanpa wudhu lagi?”. Imam Malik menjawab: “Boleh”. Maka beliau pun mengimami shalat tanpa berwudhu lagi.
Karena menurut mazhab Maliki Hanafi, bekam dapat membatalkan wudhu, orang-orang bertanya kepada Abu Yusuf Al Hanafi: “Bagaimana mungkin aku shalat bermakmum pada Khalifah Harun Ar Rasyid padahal ia belum berwudhu??”. Abu Yusuf berkata: “Subhanallah… Ia Amirul Mu’minin!”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga memiliki pendapat dalam hal ini: “Jika anda bermakmum pada imam yang memiliki perbedaan pendapat dengan anda dalam masalah sah atau tidaknya shalat. Lalu anda berpendapat bahwa shalat yang dilakukannya itu tidak sah, namun ia memiliki hujjah dan dalil bahwa shalat yang ia lakukan sudah sah, maka anda boleh bermakmum kepadanya. Kecuali jika sang imam menegaskan bahwa ia belum berwudhu, misalnya ia berkata: ‘Saya belum berwudhu dan saya akan shalat tanpa wudhu’. Maka shalatnya tidak sah bagi si imam dan tidak sah pula bagi anda”.
[Sampai di sini perkataan Syaikh Rabi’, dinukil dari http://www.rabee.net/show_fatwa.aspx?id=208]
Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya juga membuat bab:
باب إِمَامَةِ الْمَفْتُونِ وَالْمُبْتَدِعِ وَقَالَ الْحَسَنُ صَلِّ وَعَلَيْهِ بِدْعَتُهُ
“Bab berimam kepada orang yang terkena fitnah atau mubtadi. Dan Al Hasan berkata: ‘Shalatlah bermakmum kepada mereka, sedangkan bid’ah yang mereka lakukan biarlah mereka yang menanggung'”. Perlu diketahui fiqih Imam Al Bukhari terdapat pada judul-judul babnya.
Ringkasnya, anda boleh shalat dibelakang imam yang melakukan kesalahan dalam shalat semisal membaca doa qunut dalam shalat shubuh atau semacamnya, selama kesalahan tersebut bukan kesalahan yang secara ijma ulama dapat membatalkan shalat, seperti tidak berwudhu. Namun tetap disarankan untuk mencari masjid yang imamnya sesuai atau lebih mendekati sunnah jika memungkinkan.
2. Apa yang harus dilakukan?
Jika seseorang bermakmum dibelakang imam yang membaca doa qunut pada shalat shubuh, yang merupakan bid’ah, apakah ia ikut membaca doa bersama imam? Ataukah diam saja? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama.
Pendapat pertama, yaitu mengikuti imam membaca doa qunut, mengingat perintah untuk mengikuti imam. Sebagaimana pendapat Abu Yusuf Al Hanafi yang disebutkan dalam Fathul Qadiir (367/2):
وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ رَحِمَهُ اللَّهُ يُتَابِعُهُ ) لِأَنَّهُ تَبَعٌ لِإِمَامِهِ ، وَالْقُنُوتُ مُجْتَهَدٌ فِيهِ
“Abu Yusuf rahimahullah berpendapat ikut membaca qunut. Karena hal tersebut termasuk kewajiban mengikuti imam. Sedangkan membaca qunut adalah ijtihad imam”
Dalam Syarhul Mumthi’ Syarh Zaadul Mustaqni’ (45/4) kitab fiqh mazhab Hambali, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan:
وانظروا إلى الأئمة الذين يعرفون مقدار الاتفاق، فقد كان الإمام أحمدُ يرى أنَّ القُنُوتَ في صلاة الفجر بِدْعة، ويقول: إذا كنت خَلْفَ إمام يقنت فتابعه على قُنُوتِهِ، وأمِّنْ على دُعائه، كُلُّ ذلك مِن أجل اتِّحاد الكلمة، واتِّفاق القلوب، وعدم كراهة بعضنا لبعض
“Perhatikanlah para ulama yang sangat memahami pentingnya persatuan. Imam Ahmad berpendapat bahwa membaca qunut ketika shalat shubuh itu bid’ah. Namun ia berkata: ‘Jika seseorang shalat bermakmum pada imam yang membaca qunut maka hendaknya ia mengikuti dan mengamini doanya’. Ini dalam rangka persatuan, dan mengaitkan hati dan menghilangkan kebencian diantara kaum muslimin”
Pendapat kedua, diam dan tidak mengikuti imam ketika membaca doa qunut, karena tidak harus mengikuti imam dalam kebid’ahan. Dalam Fathul Qadiir (367/2), kitab Fiqih Mazhab Hanafi, dijelaskan:
فَإِنْ قَنَتَ الْإِمَامُ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ يَسْكُتُ مَنْ خَلْفَهُ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ وَمُحَمَّدٍ رَحِمَهُمَا اللَّهُ .
“Jika imam membaca doa qunut dalam shalat shubuh, sikap makmum adalah diam. Ini menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad rahimahumallah”
Dalam Al Mubdi’ (238/2), kitab fiqih mazhab Hambali dikatakan:
وذكر أبو الحسين رواية فيمن صلى خلف من يقنت في الفجر أنه يسكت ولا يتابعه
“Abul Husain (Ishaq bin Rahawaih) membawakan riwayat tentang sahabat yang shalat dibelakang imam yang membaca qunut pada shalat shubuh dan ia diam”
Namun perkara ini adalah perkara khilafiah ijtihadiyah, anda dapat memilih pendapat yang menurut anda lebih mendekati kepada dalil-dalil yang ada. Wallahu Ta’ala A’lam, kami menguatkan pendapat pertama, yaitu mengikuti imam berdoa qunut mengingat hadits tentang perintah untuk mengikuti imam meskipun imam melakukan kesalahan selama tidak disepakati oleh para ulama kesalahan tersebut dapat membatalkan shalat, sebagaimana telah dibahas di atas.
Yang terakhir, perlu dicamkan bahwa dalam keadaan ini anda tetap berkewajiban untuk menghadiri shalat berjama’ah di masjid. Sebagaimana solusi yang disarankan oleh Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta:
فإذا كان الإمام يسدل في صلاته ويديم القنوت في صلاة الصبح على ما ذكر في السؤال نصحه أهل العلم وأرشدوه إلى العمل بالسنة ، فإن استجاب فالحمد لله ، وإن أبى وسهلت صلاة الجماعة وراء غيره صُلِّيَ خلف غيره محافظةً على السنة ، وإن لم يسهل ذلك صُلِّيَ وراءه حرصاً على الجماعة ، والصلاةُ صحيحةٌ على كل حال .
“Jika imam melakukan sadl atau merutinkan membaca doa qunut ketika shalat shubuh, sebagaimana yang anda tanyakan, katakan kepadanya bahwa para ulama menasehatkan dirinya untuk beramal dengan yang sesuai sunnah. Jika ia setuju, alhamdulillah. Jika ia menolak, maka bila anda dapat dengan mudah mencari masjid lain, shalatlah di sana. Dalam rangka menjaga diri agar senantiasa mengamalkan yang sunnah. Jika sulit untuk mencari masjid lain, maka anda tetap shalat menjadi makmum imam tersebut, dalam rangka melaksanakan kewajiban shalat berjama’ah” (Fatawa Lajnah Ad Daimah, 7/366)
Wabillahi At Taufiq.
——-
Penulis: Yulian Purnama
Artikel UstadzKholid.Com
mohon maaf sebelumnya…dalam hal syariah memang terjadi banyak perbedaan dari masing-masing madzab..dan imam madzab tidak asal-asalan dalam melakukannya, tidak seperti halnya jaman sekarang yang hanya membaca buku terjemah langsung memvonis madzab yang lain ahlul bid’ah..tolonglah dilihat lagi rukun sholat itu seperti apa, sunnahnya seperti apa. rasululloh SAW tidak membaca qunut setiap subuh tetapi pernah melakukannya, nah sunnah itu apa coba dipahami dulu..apakah negara kita ini tidak seperti halnya pada jaman jahiliyah sehingga bid’ah membaca qunut subuh, termasuk menggerak-gerakkan jari waktu tasyahud, cobalah dipahami hadits-haditsnya sebelum bilang bid’ah..hanya AlBani yang mengatakan sambil menggerak2kan jari..saya orang NU bertahun2 mengkaji ilmu agama di Pondok Pesantren Al Muttaqien Klaten Jawa Tengah. setiap subuh saya baca qunut..kalo mau ngaji tentang qunut, sholawat, tahlil, berjanzi, Nahwu-Shorf silahkan menimba ilmu di pondok pesantren..terima kasih
Tentang angkat tangan atau tidak, karena tidak ada dalil tegas, insya Allah mengambil pendapat yang mana saja tidak mengapa.
Namun tentang Qunut Subuh-nya, terdapat dalil yang tegas menyatakan bahwa hal tersebut tidak dilakukan oleh Nabi kita tercinta Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam.
Imam Asy Syafi’i berpendapat dengan berdasarkan dalil:
يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Nabi qunut subuh hingga akhir hayat”
Ini tentu bukan pendalilan yang main-main dan sembarangan. Beliau mendapat 1 pahala atas ijtihad beliau, insya Allah. Maka kita wajib menghormati beliau dalam hal ini. Namun pendapat beliau ini tetap saja tetap saja tidak tepat karena bertentangan dengan dalil shahih yang lain, yaitu hadits Abu Malik Al Asyja’i yang saya paparkan di atas.
Saya belum tentu benar, anda belum tentu benar, Imam Asy Syafi’i belum tentu benar, Al Albani belum tentu benar, Ibnu Taimiyah belum tentu benar, yang pasti benar adalah dalil. Oleh karenanya Imam Asy Syafi’i sampai berkata: “Jika ada hadits shahih, itulah mazhabku”
Bukannya di artikel http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/mengangkat-tangan-ketika-berdoa.html ada tulisan ini??
Sebagaimana diriwayatkan oleh Anas bin Malik Radhiallahu’anhu :
فَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّمَا صَلَّى الْغَدَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ فَدَعَا عَلَيْهِمْ
“Aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setiap shalat shubuh beliau mengangkat kedua tangannya dan mendoakan keburukan bagi mereka” (HR. Ahmad 12402, dishahihkan oleh An Nawawi dalam Al Majmu 3/500)
Juga banyak diriwayatkan tentang hal ini dari perbuatan para sahabat Nabi, diantaranya Umar bin Khattab, diceritakan oleh Abu Raafi’ :
صليت خلف عمر بن الخطاب رضي الله عنه فقنت بعد الركوع ورفع يديه وجهر بالدعاء
“Aku shalat di belakang Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu, beliau membaca doa qunut setelah ruku’ sambil mengangkat kedua tangannya dan mengeraskan bacaannya” (HR. Al Baihaqi 2/212, dengan sanad yang shahih)
*Lantas kenapa dalam jawaban dinyatakan doa qunut pada shalat shubuh secara rutin adalah perkara baru dalam agama?? bingung nih ommm…
Anda mesti baca artikel ini juga:
http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/mengkaji-qunut-nazilah.html
Qunut itu yang disyariatkan ada 2:
1. Qunut pada shalat witir
2. Qunut nazilah
Qunut nazilah ini bisa dikerjakan pada semua shalat 5 waktu, ketika ada nazilah (bencana besar yang menimpa kaum Muslimin). Dan banyak sekali hadits yang menerangkan bahwa praktek Qunut tersebut bukan pada shalat subuh saja dan hanya dilakukan ketika ada nazilah seperti hadits Anas bin Malik di atas.
Maka perlu anda pahami bahwa yang bid’ah adalah MENGKHUSUSKAN DAN MERUTINKAN qunut pada shalat shubuh.
MMng bnr saudara lama ngaji di pondok, telah bnyak mmpelajari smua kitab-kitab kuning ttp siapa pengarang kitab-kitab itu. Kan manusia jg yg bisa salah. Perkataan siapa yng wajib didahulukan? Perkataan para Ulama, Kyai, Mubaligh atau kah Perkataan Rasulullah SAW?
Jazaakallah atas masukkannya, namun saya kurang paham anda mengomentari bagian mana? Mengenai bid’ah-tidaknya qunut subuh atau mengenai mengangkat tangannya?
Sependapat kang
Ass. Warwab. Tulisan Ustaz telah memberikan penjelasan yang memadai khususnya bagi kami pengikuti salaf yang masih menjadi makmum dari imam mubtadi, saran untuk mencari masjid yang imamnya mengikuti salafi di wilayah kami masih sangat sulit sehingga spam ini sangat bermanfaat untuk menghilangkan keraguan. Jazakallah
perkara yg tidak perlu diperdebatkan. hanya orang2 bodoh dan gak ada kerjaan yang senang bahas perkara khilafiyah. kapan mau maju kalo hanya bahas perkara qunut dan tidak qunut. yang patut dikatakan ahlul bid’ah adalah orang2 yg kayak gene yg senang menyalahkan orang lain dan anggap diri paling benar dan paling mengikuti sunnah.
Saya ini memang orang bodoh, semoga Allah menambahkan ilmu kepada saya.
Menurut saya yang bodoh ini, umat Islam juga tidak akan maju kalau masih suka meniru abu jahal.
Ustadz janganlah menyeru pada perbedaan . Kami cuma mengikuti apa yang diajarkan nenek moyang kami .
Tetap sabar dan tawakal ustadz. Saya beruntung sekali ditunjukan oleh allah orang seperti ustadz yang membantu dalam masalah ibada . Saya ada al quran dan hadist tapi saya gak ada ilmu . Semoga allah merahmati ulama dan terus menyambung mereka sampai akhir zaman.
assalamualaikum ustadz
Justru org2 spt Abu Jahal-lah yg membuat islam ga maju2, senangnya khilafiyah. Dikasihtau hukum fikih A, bilangnya ah itu khilafiyah kok, dikasihtau hukum fikih B, lagi2 bilangnya ah itu perkara khilafiyah diantara ulama, dikasihtau hukum fikih C, pun tetap bilangnya ah ga ush diributkan deh wong perkara khilafiyah kok.
Heran saya, senang sekali ya dengan khilafiyah. Sptnya sama sekali tidak tergerak untuk belajar mencari kebenaran dari dalil-dalil dan khilafiyah yg ada.
@akhi Yulian, afwan ya akh klo komen saya terkesan emosi. Saya rada gemas membaca komen Abu Jahal. Tetap sabar akh walau antum dikatakan bodoh. Walau sebenernya yg bodoh itu adalah yg malas membahas perkara khilafiyah dan malas mengetahui dalil.
sdhlah tdk usah ribut2, yg penting niatnya sama2 menyembah ALLAH SWT, intinya jgn punya pengakuan yg paling benar….kebenaran hanya milik ALLAH SWT….
Terima kasih kang gogo. Tapi kang, bukannya orang kafir Quraisy juga berniat menyembah Allah? Buktinya ayahnya Nabi orang kafir tapi namanya Abdullah (hamba Allah)
Berarti niat saja tidak cukup ya kang.
Benar, bahwa kebenaran hanya milik Allah, jadi kita kembalikan kepada firman Allah. Dan firman Allah menyuruh kita mengikuti tuntunan Nabi.
assalamu’alaikum…ijin copas akh…jazakallah khairan
Permsi Kami org bodoh ikut mmberi pendapat. 1. Orang brgama perlu niat yg lurus lagi ikhlas PLUS apa yng dia amalkan sesuai apa yng di contohkan Rasulullah SAW. 2. Beragama harus lah KITA obyektif dan mndengarkan serta mngambil ilmu dr siapapun tanpa ada taklid dr siapupun. Klo ilmunya sesuai AlQuran dan AlHadits yg shohih wal hasan HARUSLAH kita ikuti.
duh saya msh dangkal, tapi jd bingung mana yg bener, jadi perlu ikut yg mana? nu, muhammadiyah, ldii, dll?
apa korelasinya dengan NU, muhammadiyah dan LDII ya?
yang benar itu ikuti dalil mas, tapi sesuai dengan yang dipahami para sahabat nabi dan ulama shalih.
mentafsirkan qur’an & hadits hendaklah jg ditelan mentah2, karena tiap kata ada tafsiranya dan masing2 orang penafsiranya berbeda2
menafsirkan qur’an & hadits yang paling benar ya dengan qur’an & hadits juga, bukan dengan pendapat pribadi masing-masing orang. kalau pakai pendapat masing-masing orang, hancurlah agama.
makanya kita perlu memahami penjelasan ulama yang menjelaskan dengan qur’an & hadits.
yg suka khilafiyah biasanya krn setia berpegang dg hadits (dha’if) perbedaan adalah rahmat.. terbukti di sampang perbedaan jd konflik…berarti perbedaan cenderung mengundang konflik..dan sama sekali bukan rahmat.. bagi saya amal itu punya dua syarat ikhlas krn Allah semata dan mencontoh apa yg Nabi ajarkan.. berdasarkan kata ikhlas tsb saya cenderung milih yg kedua “diam” saja…bahkan jika ragupun bukankah kita disuruh meninggalkan… aneh menurut logika saya bagaimana mungkin saya melakukan suatu amalan yg tdk saya yakini…dan sesuai kt iman Malik toh namanya pendapat seseorang (siapapun dia : ustad, ulama, kyai, syaikh, imam dlsb) kan bisa diterima dan juga bisa ditolak/dipakai atau ditinggalkan ..kecuali Nabi…
Assalaamu’alaykum wr.wb.
Alhamdulillah ya ilmu saya bertambah.
Saya mahu tanya, qunut itu bid’ah dari segi apanya ya?
Kan Rasulullah pernah melakukannya. Emang gak boleh ikut apa yg pernah dilakukan nabi.
Mohon penjelasannya
Nabi melakukannya namun bukan rutin setiap shalat shubuh.
Saya Aditya Saputra berkonsultasi tentang hadits “. Apabila kamu melihat orang-otang yang ragu dalam agamanya dan ahli bid’ah sesudah aku(Rasulullah) tiada maka tunjukkanlah sikap menjauh(bebas) dari mereka. Perbanyaklah lontaran cerca dan kata tentang mereka dan kasusnya. Dustakanlah mereka agar mereka tidak makin merusak(citra) islam. Waspadai pula orang-orang yang dikhawatirkan meniru-nirubid’ah mereka. Dengan demikian Allah akan mencatat bagimu pahala dan akan menigkatkan derajat kamu di akhirat. (HR. Ath-Thawawi).
Jujur aja saya tidak pintar hadits apalagi ahli hadits, tapi saya cuma mau bilang bahwa saya baru tau ada hadits anda tuliskan. Terus juga, Ath-Thawawi itu siapa ya, baru tau juga saya? Jadi maaf saya tidak tahu.
QUNUT SHUBUH ADALAH SUNNAT
Menurut Madzhab Imam syafi’I Rhl. Yang kami anut dan yang dianut juga oleh Ulama-ulama besar dalam Madzhab Syafi’i seperti Imam Ghazali, Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar al Haitami, Imam ar Ramli, Imam Khatib Syarbaini, Imam Zakaria al Anshari dan lain lain, bahwa hukum membaca doa qunut dalam sembahyang subuh pada I’tidal rakaat yang kedua adalah sunnat ab’ad. Diberi pahala yang mengerjakannya dan tidak diberi pahala sekalian orang yang meninggalkannya.
[ dipotong karena terlalu panjang, by kangaswad ]
terima kasih sudah meng-COPAS artikel orang lain ke sini.
Mengenai qunut shubuh itu memang perkara khilafiyah yang harus ditoleransi, dan saya tidak memaksakan anda untuk meyakini bahwa qunut shubuh itu bid’ah. Saya sudah singgung mengenai khilaf qunut shubuh ini pada artikel berikut:
http://muslim.or.id/manhaj/tidak-semua-pendapat-dalam-khilafiyah-ditoleransi.html
Saya bukan NU ataupun Muhammadiyah, walaupun Keluarga saya dari Tokoh Muhammadiyyah dan Istri saya dari Tokoh NU, namun saya tetap islam. Yang harus kita garis bawahi dulu adalah kita mengedepankan “mencari kebenaran bukan pembenaran” jadi tidak terjadi debat kusir. Untuk masalah qunut saya kira tidak menjadi masalah, kalo didasarkan pada niat , “bahwa qunut adalah sunnat bukan kewajiban”, yg dimaksud kang aswad adalah “rutinitas” sehingga memberikan dogma kewajiban. Dalam hal ini rutinitas bukan suatu bid’ah tpi bisa menuju bid’ah, jika niatnya ga kaffahkan. Saya sendiri membebaskan dalam keluarga saya yg heterogen, karena mereka mempunyai dasar dari hadist dan madhzab masing2. Namun ada urusan yang benar bid’ah, Yang bagi harus di benahi dikalangan muslim kita, adalah perbuatan yang tidak ada dasarnya, seperti tradisi Nyewu, satos, 7 hari, selapan, sekar bunga, kirim do’a dengan membayar uang di masjid,memberi payung antar orang mati, disitu saya tegaskan pada keluarga..karena itu tidak ada asarnya.
malah jd bingung ane…
antara mustahab dan bid’ah, sebagai orang yang dangkal ilmu, saya lebih cari jalan aman yaitu meninggalkan qunut subuh, dan tidak mengangkat tangan saat mendapati imam qunut subuh sebab tak ada ketaatan dalam rangka berbuat kesalahan.
andai qunut subuh itu mustahab saya tidak berdosa meninggalkannya, namun andai benar qunut subuh itu bid’ah namun saya mengerjakan setelah ada yang mengingatkan dengan penjelasan yang ilmiah maka saya berdosa.
Saya masih bingung harus pilih yang mana. Semoga Allah memberi saya dan kita semua petunjuk Jalan kebenaran.
REPLAY : tasbih kusam
Sepengetahuan saya tidak ada kewajiban untuk bermahzab. Yang ada hanya mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah. Bahkan keempat imam mahzab berkata, tinggalkan perkataanku jika ia menyelisihi tuntunan orang ini. (sambil menunjuk ke arah makam Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam).
Yang paling senang membaca artikel semacem ini adalah orang di luar Islam…..
Sekarang mereka pada ketawa dan bertepuk tangan……
Dimanakah UKUWAH ISLAMIYAH kita???????
Semestinya kita senang dan bersyukur masih ada saudara semuslim yang mau mengoreksi diri kita. Kalau bukan Muslim siapa lagi yang mengoreksi? Apakah non-Muslim akan mengoreksi cara kita beribadah?