Kita tahu bahwa tidak ada dalil yang mendasari penentuan 1 Syawal dengan hisab falaki dan tidak ada ulama madzhab yang menggunakan metode tersebut. Para ulama telah ber-ijma’ bahwa penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal adalah dengan ru’yatul hilal. Artinya, permasalahan ini bukanlah ranah khilafiyyah diantara para ulama yang mengharuskan kita toleran terhadap pendapat yang ada. Adapun perkara ini menjadi ‘khilafiyyah‘ diantara orang awam, maka ini tidak memiliki arti apa-apa karena sudah sunnatullah bahwa orang awam yang tidak memiliki pemahaman yang baik dalam agama itu akan terus berselisih dan berbeda-beda.
Jika sudah jelas ini bukan perkara khilafiyyah, kemudian yang menjadi pertanyaan, jika ada orang yang hanya berpuasa 29 hari, padahal pemerintah dengan ru’yatul hilal menentukan puasa Ramadhan 30 hari, bagaimana status puasa 1 hari yang ditinggalkan tersebut? Berdosakah ia karena tidak berpuasa 1 hari? Padahal yang menjadi dasar orang-orang awam berpuasa hanya 29 hari ini karena ikut ormas tertentu, bahkan sebagian beralasan ‘saya cuma ikut suami‘, ‘saya ikut bapak saya‘, ‘saya ikut masjid anu‘, ‘saya ikut kebanyakan orang RT sini‘, dan alasan-alasan lain yang tentunya bukan alasan yang syar’i. Kalau kita renungkan, sungguh mereka berani sekali meninggalkan 1 hari puasa karena alasan-alasan lucu ini. Namun, apakah ia berdosa karena meninggalkan puasa disebabkan alasan yang tidak syar’i ini?
Ketika ditanyakan hal yang serupa, Syaikh Abdullah Al Faqih –hafizhahullah– menjawab:
فمن المعلوم أن تحديد بداية الشهر ونهايته بناء على الحساب الفلكي خلاف الإجماع؛ كما نص على ذلك أهل العلم، قال شيخ الإسلام ابن تيمية ـ رحمه الله تعالى
“Kita tahu bersama bahwa menjadikan hisab falaki sebagai patokan penentuan awal bulan adalah hal yang bertentangan dengan ijma’, sebagaimana dikatakan oleh para ulama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu Ta’ala berkata:
فَإِنَّا نَعْلَمُ بِالِاضْطِرَارِ مِنْ دِينِ الْإِسْلَامِ أَنَّ الْعَمَلَ فِي رُؤْيَةِ هِلَالِ الصَّوْمِ أَوْ الْحَجِّ أَوْالْعِدَّةِ أَوْالْإِيلَاءِ أَوْغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْأَحْكَامِ الْمُعَلَّقَةِ بِالْهِلَالِ بِخَبَرِالْحَاسِبِ أَنَّهُ يُرَى أَوْ لَا يُرَى لَا يَجُوزُ، وَالنُّصُوصُ الْمُسْتَفِيضَةُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ كَثِيرَةٌ، وَقَدّ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَيْهِ وَلَا يُعْرَفُ فِيهِ خِلَافٌ قَدِيمٌ أَصْلًا وَلَا خِلَافٌ حَدِيثٌ، إلَّا أَنَّ بَعْضَ الْمُتَأَخِّرِينَ مِنْ الْمُتَفَقِّهَةِ الحادثين بَعْدَ الْمِائَةِ الثَّالِثَةِ زَعَمَ أَنَّهُ إذَا غُمَّ الْهِلَالُ جَازَ لِلْحَاسِبِ أَنْ يَعْمَلَ فِي حَقِّ نَفْسِهِ بِالْحِسَابِ، فَإِنْ كَانَ الْحِسَابُ دَلَّ عَلَى الرُّؤْيَةِ صَامَ وَإِلَّا فَلَا، وَهَذَا الْقَوْلُ ـ وَإِنْ كَانَ مُقَيَّدًا بِالْإِغْمَامِ وَمُخْتَصًّا بِالْحَاسِبِ ـ فَهُوَ شَاذٌّ مَسْبُوقٌ بِالْإِجْمَاعِ عَلَى خِلَافِهِ، فَأَمَّا اتِّبَاعُ ذَلِكَ فِي الصَّحْوِ أَوْ تَعْلِيقُ عُمُومِ الْحُكْمِ الْعَامِّ بِهِ فَمَا قَالَهُ مُسْلِمٌ
‘Kita semua, secara gamblang sudah mengetahui bersama bahwa dalam Islam, penentuan awal puasa, haji, iddah, batas bulan, atau hal lain yang berkaitan dengan hilal, jika digunakan metode hisab dalam kondisi hilal terlihat maupun tidak, hukumnya adalah haram. Banyak nash dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang mendasari hal ini. Para ulama pun telah bersepakat akan hal ini. Tidak ada perselisihan diantara para ulama terdahulu maupun di masa sesudahnya, kecuali sebagian ulama fiqih mutaakhirin setelah tahun 300H yang menganggap bolehnya menggunakan hisab jika hilal tidak nampak, untuk keperluan diri sendiri. Menurut mereka, jika sekiranya perhitungan hisab sesuai dengan ru’yah maka mereka puasa, jika tidak maka tidak. Pendapat ini, jika memang hanya digunakan ketika hilal tidak nampak dan hanya untuk diri sendiri, ini tetaplah merupakan pendapat nyeleneh yang tidak teranggap karena sudah adanya ijma’. Adapun menggunakan perhitungan hisab secara mutlak, padahal cuaca cerah, dan digunakan untuk masyarakat secara umum, tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat demikian‘.
والذي جاء به الشرع هو تحديد بداية الشهر برؤية الهلال أو بإتمام شعبان عند عدم رؤيته في الصحو أوعند الغيم, لقوله صلى الله عليه وسلم
Sedangkan yang ada dalilnya dari syari’at, adalah menentukan awal bulan dengan ru’yah hilal atau menggenapkan bulan menjadi 30 hari jika tidak terlihat hilal karena alasan cuaca. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُواعِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berlebaranlah karena melihat hilal. Jika kalian terhalang untuk melihat hilal maka genapkanlah sya’ban menjadi 30 hari” (HR. Bukhari)
فإذا كانت الدولة عندكم تبني شهرها على الحساب الفلكي فلا تتابع في هذا, لأن الطاعة إنما تكون في المعروف, ويلزم الناس حينئذ أن يتحروا الهلال بأنفسهم، فإن رأوه صاموا وإن لم يروه في الصحو أو بسبب الغيم أتموا عدة شعبان ثلاثين
Jika pemerintah anda menentukan awal bulan dengan berpegangan pada hisab falaki, maka jangan mentaatinya. Karena taat kepada pemerintah hanyalah pada hal yang ma’ruf. Jika keadaannya demikian, hendaknya kaum muslimin mencoba menyelidiki hilal sendiri, jika mereka melihatnya maka mulailah berpuasa Ramadhan, jika terhalang karena alasan cuaca maka genapkanlah sya’ban menjadi 30 hari.
فإن تعذرعليهم تحري الهلال لمنع الدولة لهم أو نحو ذلك من الأسباب صاموا وأفطروا مع أقرب بلاد الإسلام إليهم ممن يتحرى الهلال, وإذا ثبت أن صيامكم هذه السنة كان ثمانية وعشرين يوما بناء على تحري الهلال فيلزمكم قضاء ما أفطرتموه من الشهر، فإن كان الشهرـ بناء على ما جاء به الشرع ـ ثلاثين يوما لزم الناس قضاء يومين, وإن كان الشهر ناقصا لزمهم قضاء يوم
Jika mereka tidak bisa menyelidiki hilal karena dilarang oleh pemerintah atau karena sebab lain, maka hendaknya kaum muslimin berpuasa mengikuti negara muslim terdekat yang melihat hilal. Andaikan berdasarkan hilal negara tetangga tersebut, ternyata puasa tahun ini hanya 28 hari (dan ini tidak mungkin, pent.) maka konsekuensinya, ada hari-hari yang di qadha. Jika bulan Ramadhan ternyata 30 hari maka kaum muslimin meng-qadha 2 hari. Jika bulan Ramadhan 29 hari maka kaum muslimin meng-qadha 1 hari.
ومن أفطر وصام بناء على الحساب الفلكي تبعا وهو جاهل بالحكم الشرعي فنرجو أن لا إثم عليه ولا يسقط عنه, ومن كان عالما بالحكم الشرعي فهو آثم وتلزمه التوبة إلى الله تعالى
Orang yang tidak puasa atau berpuasa karena berpegang pada hisab falaki dengan alasan ikut-ikutan, sedangkan ia bukan orang yang paham terhadap hukum-hukum syar’i, maka mudah-mudahan tidak ada dosa baginya. Namun bagi orang yang paham terhadap hukum syar’i maka ia berdosa dan ia wajib bertaubat kepada Allah Ta’ala.
وينبغي لأهل العلم أن يقوموا بما أخذه الله عليهم من ميثاق بيان الحق وعدم كتمانه فهم الأسوة والقدوة التي يقتدي بها الناس، ونسأل الله أن ينصر دينه ويعلي كلمته ويهدي ولاة أمورالمسلمين إلى الحق والعمل به، وانظر للأهمية الفتوى رقم: 126768 .
والله أعلم
Sudah semestinya para ulama menegakkan agama sesuai apa yang Allah tugaskan untuk mereka, yaitu menjelaskan kebenaran dan tidak menyembunyikan ilmu. Karena mereka adalah panutan dan teladan yang diikuti manusia. Kami memohon kepada Allah, semoga Allah menolong agama-Nya dan meninggikan agama-Nya serta menunjukkan para penguasa kaum muslimin ke jalan kebenaran dan mengamalkannya. Mengenai pentingnya hal ini silakan lihat fatwa no. 126768. Wallahu’alam.
Sumber: http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&lang=A&Id=127662
—
Berdasarkan keterangan Syaikh di atas, orang yang meninggalkan 1 hari puasa karena sekedar ikut-ikutan, dan mereka adalah orang-orang awam yang tidak paham duduk permasalahannya, mudah-mudahan mereka tidak berdosa. Namun tentu tugas para da’i untuk terus menjelaskan kepada mereka dengan ilmiah dan penuh hikmah, mengenai bid’ah-nya metode hisab falaki dalam penentuan Ramadhan dan Syawal, serta larangan fanatik kelompok dalam beragama juga tentang wajibnya taat kepada pemerintah dalam perkara yang ma’ruf.
Catatan: Jika kasusnya, sebagian kaum muslimin berpuasa 29 hari karena alasan mengikuti salah satu pendapat tentang wajib-tidaknya seluruh negeri muslim untuk mengikuti salah satu negeri muslim yang sudah melihat hilal, maka ini adalah perkara yang berbeda, ini adalah khilafiyyah yang semestinya toleran terhadap pendapat yang ada. Walaupun ia tetap berdosa jika menyelisihi apa yang diputuskan pemerintah, selama pemerintah tidak menggunakan metode hisab. Allahu’alam.
Matur nuwun kang….wah jadi ngerti e….^^
Assalamu’alaikum….
saya punya perntanyaan yg mohon minta bantuan untuk dijawab sebagai bahan pertimbangan. saya seorang suami yg pada bulan ini melaksanakan idul fitri yang berbeda denan istri saya. harab dimakalumi karana keluarga saya dan keluarga istri berbeda ormas islamnya tp kita gak pernah mempermasalahkan. saya jg gak pernah memaksa istri untuk ngikuti saya karena pandangan berbeda. pas pada hari raya taun ini kita berbeda dimn istri hr raya lbh duluan. pada hr raya pertama istri mengajak saya untuk ikut silaturohmi kekerabat keluarga dari istri dengan alasan menghormati keluara yg sudah lebaran lebih duluan tetapai saya menolak ikut karena saya alasan mash berpuasa. yang nmnya kita silaturohmi kan ya seperti itu pasti akan disuguhi makanan dan minuman seperti itu. klok hati saya sampai tergoda gmn padahal sykan msh puasa, tapi istri malah marah, saya malah mendapatkan jawaban yang kurang enak dari istri rarti iman saya kurang kuat. jujur emang dalam segi ilmu islam saya msh kalah dengan istri.
demikian mohon penjelasan bagaimana saya menyikapi itu semua dan apa yg harus saya lakukan.
terima ksh sebelumnya dan mohon jawaban dikirimkan ke email sya
Wassalamu’alaikum
Pertama, anda wajib mendakwahi istri anda untuk tidak mengikuti hal yang salah dalam beragama. Bagi istri anda dalam hal ini, wajib taat kepada suami karena yang diperintahkan suami adalah hal yang ma’ruf. Tentunya anda coba hal ini dengan perkataan yang lembut dan cara yang baik. Selama istri anda belum paham atau masih ada syubhat dalam benaknya, maka status istri anda adalah ‘orang awam’ yang disinggung dalam artikel.
Kedua, mengenai ajakan untuk saling berkunjung, ada baiknya anda ikut walaupun sedang berpuasa. Itu bukan perkara yang terlarang, lebih lagi menimbang maslahat dan mudharat yang mungkin timbul. Mudharat yang mungkin timbul: mertua anda marah, istri anda marah, kerabat anda memandang kurang baik terhadap anda, dll.
jazaakallohu khoyron…
Syukron wa barakallahu fiika,kang tulisan yg mencerahkan,dmn kbnykn manusia taqlid terhadp ormas,tdk mndasarkn pd ilmu…
Barakallahufiikum
Pak kalau misalnya ada kasus seseorang memutuskan berbuka dgn alasan ibu tidak ridho bagaimana? Si ibu kekeh akan lebaran tgl 30 dan si anak tgl 31 krn ikut pemerintah. Si anak tetap puasa, namun di tengah hari bertanya pada ibu dan ternyata ibu sebenarnya tidak ridho anaknya lebaran beda hari. Mohon penjelasannya.
Ada masukan dari seorang kawan bahwa sebaiknya ikut ortu karena jika berbeda akan menimbulkan kesedihan.
Jazaakallaah.
Meninggalkan puasa adalah dosa besar, kecuali sakit, safar, hamil atau sudah tua. Selain alasan tersebut tidak diperbolehkan. Maka dalam hal ini jika orang tua memerintahkan untuk berbuka, hendaknya tidak ditaati, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا طاعة في معصية الله . إنما الطاعة في المعروف
“Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah, ketaatan itu hanya dalam hal yang ma’ruf” (HR. Muslim)
Tapi yang baik, carilah jalan tengah,
pertama, pahamkan kepada orang tua, puasa itu khan antara kita dengan Allah, kalau kita ndak yakin apa yang kita lakukan itu benar, kita takut Allah murka. Dengan logika ini, biasanya orang tua paham.
kedua, coba tawarkan kepada orang tua, bahwa anda (atau teman anda) akan ikut keliling silaturahim hari ini, akan ikut bantu-bantu masak, dll walaupun belum ikut lebaran.
ketiga, setelah lebaran berlalu coba dakwahkan orang tua sedikit-demi-sedikit untuk memahami masalah agama sesuai dalilnya, mudah-mudahan tahun depan tidak ditentang lagi.
Mungkin itu saran dari saya.
‘Afwan, Pak … kalau kasusnya seperti di Indonesia tahun ini dalam memutuskan 1 Syawal (dan sudah beberapa kali terjadi hal seperti itu), yakni menolak kesaksian orang yang sudah melihat hilal, berarti pemerintah tidak berdasar ru’yatul hilal kan, Pak?
Jadi tidak salah kan, jika saya YAKIN pada orang yang sdh melihat hilal (Romadhon 29 hari) dan tidak ikut keputusan pemerintah (menggenapkan 30 hari)?
Pertama, ulama berbeda pendapat mengenai masalah: jika ada hilal diselidiki oleh banyak orang, mayoritas tidak melihat dan ada satu atau sedikit yang melihat, apakah diterima persaksiannya? Hal ini diperselisihkan ulama. Sebagian ulama mengatakan tidak diterima, sebagian ulama mengatakan diterima jika ia tsiqah dan orang yang memang mampu melihat hilal. Karena ini tataran khilafiyyah, maka pemerintah berhak memutuskan khilaf dan kita wajib taat. Nampaknya pemerintah mengambil pendapat pertama.
Kedua, persaksian bisa ditolak jika: pemberi saksi bukan orang yang terpercaya, bukan orang yang mampu (dalam hal ini mampu dan tahu cara melihat hilal), atau jika ada qariinah (indikasi) bahwa persaksian itu salah. Dalam kasus yang terjadi, faktor pertama dan kedua saya kurang tahu, namun faktor ketiga diungkapkan oleh MUI bahwa dalam kondisi tidak mungkin terlihatnya hilal bagaimana mungkin bisa terlihat?
Ketiga, persaksian terhadap hilal itu bukan klaim pribadi, namun dilaporkan ke ulil amri dan mereka yang memutuskan, demikianlah yang dipraktekan di zaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Sahabat Ibnu Umar berkata:
تراءى الناس الهلال فأخبرت رسول الله صلى الله عليه وسلم أني رأيته فصامه وأمر الناس بصيامه
“Orang-orang melihat hilal, lalu aku kabarkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa aku melihatnya. Beliau pun lalu berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa” (HR. Abu Daud 2342, dishahihkan Al Albani dalam Al Irwa, 908)
Keempat, masalah memulai puasa dan mengakhiri puasa bukan urusan pribadi namun urusan yang harus dijalankan bersama ulil amri. Sehingga tidak bisa anda merasa yakin sendiri lalu menjalankan sesuai keinginan sendiri. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
الصوم يوم تصومون ، والفطر يوم تفطرون ، والأضحى يوم تضحون
““Awal puasa adalah hari yang kamu semua memulai puasa. Idul fitri adalah hari yang kamu semua berbuka. Idul Adha adalah hari yang kamu semua berkurban”” (HR. Tirmidzi 697, ia berkata: “Hasan gharib”)
Hadits ini menunjukkan bahwa penentuan awal puasa dan idul fitri itu amal jama’i, bukan pribadi.
Kelima, pemerintah jelas-jelas menggunakan ru’yah hilal, karena tidak terlihat maka digenapkan menjadi 30 hari. Maka tidak halal bagi anda untuk menyelisihi pemerintah. Jika anda sudah memahami permasalahan ini dengan baik, ada baiknya anda memohon ampunan Allah dan meng-qadha puasa yang ditinggalkan.
Saya ikut menonton sidang itsbat. Pemerintah mengikuti saran MUI yang memadukan antara rukyah dan hisab. Alasan yang digunakan untuk menolak hasil rukyah Cakung dan Jepara adalah karena belum tercapai imkaniyatul rukyah. Jadi apakah MUI tidak Syar’i?
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/11/08/29/lqox1z-mui-hisab-tegaskan-hilal-tak-tampak-kesaksian-yang-melihat-harus-ditolak
‘Afwan, Pak, penjelasan pak Ian dijelaskan:
‘Afwan, Pak … dalam penjelasan yang pak Ian sampaikan terdapat:
1. Ulama berbeda pendapat mengenai masalah: jika ada hilal diselidiki oleh banyak orang, mayoritas tidak melihat dan ada satu atau sedikit yang melihat, apakah diterima persaksiannya? Hal ini diperselisihkan ulama. Sebagian ulama mengatakan tidak diterima, sebagian ulama mengatakan diterima jika ia tsiqah dan orang yang memang mampu melihat hilal. Karena ini tataran khilafiyyah, maka pemerintah berhak memutuskan khilaf dan kita wajib taat.
2. Para ulama telah ber-ijma’ bahwa penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal adalah dengan ru’yatul hilal. Artinya, permasalahan ini bukanlah ranah khilafiyyah diantara para ulama yang mengharuskan kita toleran terhadap pendapat yang ada.
3. Jika pemerintah anda menentukan awal bulan dengan berpegangan pada hisab falaki, maka jangan mentaatinya. Karena taat kepada pemerintah hanyalah pada hal yang ma’ruf.
4. Persaksian bisa ditolak jika: pemberi saksi bukan orang yang terpercaya, bukan orang yang mampu (dalam hal ini mampu dan tahu cara melihat hilal), atau jika ada qariinah (indikasi) bahwa persaksian itu salah. Dalam kasus yang terjadi, faktor pertama dan kedua saya kurang tahu, namun faktor ketiga diungkapkan oleh MUI bahwa dalam kondisi tidak mungkin terlihatnya hilal bagaimana mungkin bisa terlihat?
‘Afwan, ana tidak bermaksud menyalahkan Pemerintah. Namun, semua faktor (pertama, kedua, ketiga) yang disebutkan dalam poin ke-4 amatlah lemah. Dalam arti, insyaa ALLOH, orang yang melihat hilal tersebut adalah orang yang terpercaya (hanya saja bukan dari NU / depag). Orang yang melihat tersebut, insyaa ALLOH, juga orang yang mampu dan tahu tata cara melihat hilal (QODARULLOH, -hanya- Cakung dan Jepara yang diperlihatkan oleh ALLOH).
Malaysia dan Singapura (yang semula berasumsi sama bahwa Idul Fitri jatuh tgl 31 Januari) meralat analisisnya hingga menjadi tgl 30 Januari 2011. Padahal Singapura bisa dibilang dalam lingkup ‘Indonesia’. Apakah ini juga tidak mendukung bahwa orang yang di Cakung dan Jepara tersebut telah melihat hilal?
Mohon dicamkan baik-baik, yang dibebankan kepada kita adalah menjalankan apa yang menjadi kewajiban kita sebagai RAKYAT. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
اسمعوا وأطيعوا فإنما عليكم ما حملتم وعليهم ما حملوا
“Dengar dan taatlah (kepada penguasa). Karena yang jadi tanggungan kalian adalah yang wajib bagi kalian, dan yang jadi tanggungan mereka ada yang wajib bagi mereka” (HR. Muslim 1846)
Yang dibebankan untuk menerima atau tidak menerima persaksian orang yang melihat hilal adalah PEMERINTAH. Katakanlah pemerintah salah dalam menolak atau menerima persaksian, maka dosanya mereka yang menanggung. Begitu juga masalah kondisi si saksi, apakah ia tsiqah atau tidak, mampu atau tidak, patut diterima persaksiannya atau tidak, bagaimana kriterianya itu semua tanggung jawab dan urusan pemerintah dan saya kira, anda dan saya tidak lebih tahu daripada pemerintah.
Yang dibebankan kepada kita adalah -hanya- mendengar dan taat kepada pemerintah. Itu yang akan dipertanggung-jawabkan kelak di akhirat.
Afwan kang, saya mau tanya.
1. Definisi pemerintah yang wajib di taati kaum muslimin seluruh dunia (karena umat Islam tidak hanya di Indonesia), itu seperti apa?
2. Jika pada zaman Nabi Muhammad pemimpinnya adalah beliau, apakah kriteria pemimpinnya harus seperti beliau atau tidak, atau bahkan pemerintah yg zolim pun harus kita taati?
1. Imam Ahmad pernah ditanya demikian, beliau menjawab bahwa imam yang wajib ditaati adalah yang dianggap oleh orang-orang sebagai imam (penguasa).
2. Hadits-hadits menunjukkan bahwa Rasulullah seringkali mewasiatkan untuk taat pada penguasa Muslim walaupun zhalim dan fajir. Silakan simak:
“Awal puasa adalah hari yang kamu semua memulai puasa. Idul fitri adalah hari yang kamu semua berbuka. Idul Adha adalah hari yang kamu semua berkurban”” (HR. Tirmidzi 697, ia berkata: “Hasan gharib”)
Hadits ini menunjukkan bahwa penentuan awal puasa dan idul fitri itu amal jama’i, bukan pribadi.
>>>>> Ya, memang jama’i … kan juga dilakukan berjama’ah bersama dengan orang-orang banyak, bahkan hampir sebagian besar negara.
Amal jama’i yang dimaksud adalah seluruh kaum muslimin bersama ulil amri-nya, bukan jama’ah ormas tertentu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa makna hadits ini adalah hari awal puasa adalah hari yang zhahir diketahui oleh kaum muslimin bahwa itulah hari awal puasa. Hari Idul Fitri adalah hari yang zhahir diketahui oleh kaum muslimin bahwa itulah hari Idul Fitri, dst. walaupun mungkin hakikat sebenarnya itu hari yang salah. Kalau anda paham bahasa arab insya Allah akan memahami dengan baik penjelasan beliau tersebut.
Copas penjelasan Pak Ian:
“Sebagian ulama fiqih mutaakhirin setelah tahun 300H yang menganggap bolehnya menggunakan hisab jika hilal tidak nampak, untuk keperluan diri sendiri. Menurut mereka, jika sekiranya perhitungan hisab sesuai dengan ru’yah maka mereka puasa, jika tidak maka tidak. Pendapat ini, jika memang hanya digunakan ketika hilal tidak nampak dan hanya untuk diri sendiri, ini tetaplah merupakan pendapat nyeleneh yang tidak teranggap karena sudah adanya ijma’. Adapun menggunakan perhitungan hisab secara mutlak, padahal cuaca cerah, dan digunakan untuk masyarakat secara umum, tidak ada seorang ulama pun yang berpendapat demikian‘.”
>>>> Yang terjadi justru MUI (yang sebagian besar NU) menetapkan berdasar hisab falaki (meski hisabnya berbeda dengan hisab Muhammadiyah).
Menurut saya inilah letak kerancuan yang ada pada diri anda. Anda menilai bahwa pemerintah menggunakan hisab falaki. Dan pendapat anda ini sangat aneh, saya kira statement ini baru keluar dari perkataan anda saja, tidak saya temukan di berita-berita atau dari perkataan para ahli falak ataupun asatidz.
Yang benar, pemerintah menggunakan ru’yatul hilal, namun pemerintah berpegang pada pendapat yang tidak mengesahkan persaksian minoritas penyelidik hilal ketika mayoritas penyelidik hilal mempersaksikan berbeda.
Anda nampaknya juga hanya mengandalkan info dari berita saja:) Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri argumen dari MUI waktu sidang istbat yang jelas-jelas menggunakan argumen hisab (masih kurang dari dua derajat) untuk menolak hasil rukyah Cakung dan Jepara. Silahkan diputar lagi rekaman hasil sidang itsbat kalau tidak percaya.
Pertama, tidak jemu saya sarankan bapak taufiq untuk kembali lagi menyadari apa yang dibebankan kepada kita, yaitu menjalankan apa yang menjadi kewajiban kita sebagai RAKYAT. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
اسمعوا وأطيعوا فإنما عليكم ما حملتم وعليهم ما حملوا
“Dengar dan taatlah (kepada penguasa). Karena yang jadi tanggungan kalian adalah yang wajib bagi kalian, dan yang jadi tanggungan mereka ada yang wajib bagi mereka” (HR. Muslim 1846)
Yang dibebankan untuk menerima atau tidak menerima persaksian orang yang melihat hilal adalah PEMERINTAH. Katakanlah pemerintah salah dalam menolak atau menerima persaksian, maka dosanya mereka yang menanggung.
Yang dibebankan kepada kita adalah -hanya- mendengar dan taat kepada pemerintah. Itu yang akan dipertanggung-jawabkan kelak di akhirat.
Kedua, info mengenai terlihatnya hilal cakung, jepara, dll justru saya tahunnya dari komentar saudari iwana nashaya ini, karena saya sama sekali tidak berminat pada berita-berita sinis yang berbau kritik terhadap pemerintah, karena bukan demikian caranya.
Ketiga, menurut hemat saya yang dangkal ilmu ini, sikap pemerintah dalam menggunakan hisab untuk membantu mengetahui imkanur ru’yah ini adalah sikap bijak dalam mengayomi sebagain masyarakat yang begitu fanatiknya dengan ormas-ormas yang 100% memakai hisab. Dengan begitu, pendukung ormas-ormas tersebut bisa jadi malah nrimo karena pemerintah pun memakai hisab sebagai bantuan. Namun hasil akhirnya tetap dengan ru’yah, itu sangat jelas.
Keempat, sekarang kita lihat sisi ru’yah-nya saja. Sebetulnya yang anda-anda permasalahkan itu khan: mengapa ada persaksian dari beberapa saksi namun ditolak, padahal hadits-hadits menunjukkan dua orang saksi sudah cukup?
Sebagai pihak yang mencoba terus berprasangka baik pada ulil amri dan taat kepada mereka dalam perkara ma’ruf, saya menjawab: karena sebagian besar saksi lain tidak melihat hilal dan ini merupakah khilafiyah di antara para ulama mengenai diterima atau tidaknya persaksian minoritas. Kaidah yang dipegang oleh ahlus sunnah dalam hal ini: امر المير يرفع الخلاف “Keputusan pengasa, meniadakan khilaf“. Artinya pendapat yang dipilih oleh penguasa dari beberapa pendapat yang ada, statusnya wajib untuk ditaati.
Setelah itu, andai anda atau seseorang yang tidak sependapat dengan pemerintah dalam hal ini, tidak halal memulai berpuasa menurut keyakinannya masing-masing, namun tetap wajib berpuasa bersama kaum muslimin dan ulil amri, berdasarkan hadits:
الصوم يوم تصومون ، والفطر يوم تفطرون ، والأضحى يوم تضحون
“Awal puasa adalah hari yang kamu semua memulai puasa. Idul fitri adalah hari yang kamu semua berbuka. Idul Adha adalah hari yang kamu semua berkurban”
Kalau anda bertanya, masak saya berpuasa di hari yang salah? Jawabannya:
عليكم ما حملتم وعليهم ما حملوا
“Karena yang jadi tanggungan kalian adalah yang wajib bagi kalian, dan yang jadi tanggungan mereka ada yang wajib bagi mereka”
Andai memang harinya salah, ulil ‘amri yang tanggung dosanya, yang jadi kewajiban kita hanya mendengar dan taat
banyak website yang memojokkan pemerintah
http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2011/08/30/15975/rois-suriah-pwnu-jakarta-lebaran-hari-selasa-haram-puasa-ini/
bagaimana bisa menjadi muslim yang baik kalau pemerintah saja tidak di taati ( dalam kebenaran )
Baarokallohu fiik.. semoga Alloh senantiasa memberikan kebaikan kepada antum sekeluarga. Aamiin
Namun, memang hal itu bukan permasalahan antara NU dan Muhammadiyah, akan tetapi terlalu terburu-burunya Pemerintah dalam mengambil keputusan dan ‘ego’ dalam meralatnya.
Salah satu kasus yang terjadi (ana lupa tahun berapa),
Pukul 9 malam Pemerintah sudah menetapkan bahwa Romadhon digenapkan 30 hari -berdasar hasil sidang- . Padahal saat terjadinya sidang tersebut, beberapa titik di Indonesia sudah melihat hilal (kebetulan yang melihat adalah orang-orang NU / depag). Hanya saja jalur komunikasi (telpon, dan lain-lain) untuk menghubungi orang-orang yang berada di dalam ruang sidang semuanya error alias tidak bisa dihubungi. Setelah palu diketok dan diumumkan pada masyarakat, barulah berita itu sampai di ruang sidang. Namun … Pemerintah tetap ‘gengsi’ untuk meralatnya.
Ini kisah nyata, bisa dibaca di koran, utamanya Jawa Pos yang ada di Jawa Timur.
Pertama, saya yakin anda sudah pernah mendapatkan pelajaran tentang bagaimana sikap ahlussunnah terhadap ulil amri. Sekarang, coba muraja’ah kembali pelajaran-pelajaran itu.
Kedua, andai pemerintah benar-benar salah, menasehati kesalahan pemerintah tidak layak di muka umum.
Ketiga, andai benar terjadi seperti itu, maka berlaku hadits :
الصوم يوم تصومون ، والفطر يوم تفطرون ، والأضحى يوم تضحون
“Awal puasa adalah hari yang kamu semua memulai puasa. Idul fitri adalah hari yang kamu semua berbuka. Idul Adha adalah hari yang kamu semua berkurban” (HR. Tirmidzi 697, ia berkata: “Hasan gharib”)
Keempat, andai kejadian itu benar, statement ‘pemerintah gengsi untuk meralat’ adalah opini anda atau sang wartawan. Dan ini adalah bentuk su’uzhan terhadap pemerintah. Hendaknya kita tinggalkan su’uzhan terhadap pemerintah, kita saja tidak suka jika ada orang yang su’uzhan terhadap diri kita.
Kelima, tidak semua berita yang ada di koran itu benar.
Keenam, saya tidak yakin ada keterkaitan langsung antara kejadian ini -yang tahunnya saja anda lupa- dengan kejadian sekarang.
Ketujuh, saya sarankan anda tidak terlalu banyak membaca koran dan berita, dan tidak langsung percaya terutama yang berkaitan dengan agama dan pemerintah.
Soo.. Intinya tulisan ini apaan yaa? Setuju lebaran versi Muhammadiyah atau Pemerintah…???
Inti tulisan ini, ikut pemerintah karena yang dipakai adalah ru’yatul hilal, namun kalau ada yg ikut pendapat Muhammadiyah karena ikut-ikutan dan ia orang awam, ia tidak berdosa.
Jazaakallaah.
Satu lagi pak, yg ingin sy tanyakan. Sy pernah membaca bahwa bila hilal tdk terlihat, maka tengoklah negara tetangga. Untuk kasus ied kali ini, negara tetangga terdekat spt Malaysia pun ied tgl 30 agt. Dan setahu sy hanya Indonesia yg menetapkan ied tgl 31 agt. Bagaimana menurut pendapat anda? Kmrn ada seorang teman di Madinah yg berpendapat bahwa waliyul amri kita kurang ilmu. Apakah mutlak harus taat kpd pemerintah meski kita sangat tahu kondisi pemerintah kita skrg seperti ini?
Jika hilal tidak terlihat, genapkan 30 hari, itulah yang ada dalam nash. Pendapat yang mengatakan jika tidak terlihat hilal, lihat negara tetangga, ini pendapat yang bertentangan dengan dalil dan aneh karena tidak ada ulama yang berpendapat demikian.
Dalil-dalil tentang ketaatan kepada ulil amri menunjukkan bahwa ketaatan kepada ulil amri dalam hal yang ma’ruf itu mutlak, tidak memandang ia jahilkah, alimkah, adilkah, zhalimkah. Saya yakin anda ingat hadits yang terdapat dalam Arba’in Nawawi:
أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبدا حبشيا
“Aku wasiatkan engkau untuk bertaqwa kepada Allah, kemudian untuk mendengar dan taat (kepada penguasa) walau ia seorang budak habasyah”
Dan itulah yang diterapkan para sahabat serta imam kaum muslimin terdahulu. Menyangka pemerintah kita kurang ilmu dalam masalah ru’yatul hilal itu adalah bentuk su’uzhan terhadap pemerintah. Hendaknya kita tinggalkan su’uzhan terhadap pemerintah, kita saja tidak suka jika ada orang yang su’uzhan terhadap diri kita.
Na’am. Jazaakallaah.
Biar wawasan kita lebih luas, sebagai pembanding tolong baca makalah yg ditulis oleh Al-Ustadz Said bin Abdillah Al-Hamdani “KASYFU AL-HIJAB FI ITSBATI AL-AHILLAH BI AL-HISAB” yg sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dg judul ” Menyingkap tabir penetapan hilal dg hisab”
Kerajaan Arab Saudi memerintahkan kepada rakyat dan masyarakat Arab Saudi untuk meng-qodho’ atau mengganti puasa satu hari karena ternyata ada kesalahan di dalam menentukan satu syawal bertepatan hari Selasa tanggal 30 Agustus 2011 M. Dan meralat dengan menentukan hari Rabu (31 Agustus 2011 M) sebagai 1 syawal 1432 H. (Sumber Televisi AL JAZIRAH)
link: http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=TAqkKH7_3z4#!:
link: http://www.alarabiya.net/articles/2011/08/31/164873.html
Taqobbalalloohu Minnaa wa Minkum.
Jazakallohu khoyron atas penjelasannya, Pak. ‘Afwan, sy menanyakn & memaparkn hal itu karena sy mmg msh awam & br belajar.
Sy mmaparkn hal itu krn sy mrasa yakin seyakin2nya bhw hilal 1 syawal sdh nampak hingga sy sangat ragu utk brpuasa tgl 30.
Sy pun sangat ragu jika hrs mengqodho’ d hari lain. Krn itu sy brtanya. Sy mhn maaf jk prtanyaan & pmaparn sy tdk pd tmptnya.
Skali lg sy mhn maaf. Sy jg mhn ampun kpd Alloh jk apa yg sy lakukn ini (brtnya di sini) adlh salah tmpt. Jazakallohu khoyro.
Menurut saya kontroversi hasil sidang istbat itu semakin menunjukkan kelemahan rukyat untuk konteks saat ini dimana umat Islam sudah tersebar di berbagai penjuru dunia. Dulu memang para ulama mazhab sepakat dengan rukyat, tapi beberapa ulama kontemporer seperti Yusuf Qordhowi setuju dengan penggunaan hisab untuk konteks sekarang.
Berikut ini penjelasan ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah atas pilihan menggunakan hisab dengan menggunakan kriteria wujudul hilal:
(Oleh: Prof. Dr. H Syamsul Anwar, MA. Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
…..
Maaf pak, komentarnya saya potong karena terlalu panjang dan isinya sama sekali kosong dari dalil.
Pertama, yang jadi patokan adalah mana yang ditetapkan oleh syari’at, bukanlah mana yang dianggap lebih baik oleh orang-orang.
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al Baqarah: 216)
Kedua, bukan masalah penting mana metode hisab yang dipakai (sebagai bantuan), yang penting pakai ru’yatul hilal untuk hasil akhirnya.
Ketiga, kalau ditanya adakah ulama atau orang yang ‘diulamakan’ di zaman ini yang membolehkan metode hisab untuk penentuan 1 Ramadhan dan Syawal? Jawabnya ada, Yusuf Qardhawi, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, Doktor-doktor Al Azhar, dll. Namun itu semua tidak ada artinya ketika masalah ini sudah jadi ijma’. Saya yakin bapak sudah pernah mempelajari apa itu ijma’ ulama dan bagaimana kedudukan ijma’ dalam Islam, bolehkah menyalahi ijma’, dll. Mungkin bisa diingat-ingat lagi pelajaran tersebut, namun saya ingatkan sedikit bahwa ijma’ adalah dalil. Jadi kita tidak bisa menyalahi dalil hanya karena pendapat beberapa orang atau karena anggapan baik.
Keempat, di zaman Rasulullah pun Islam sudah ada di beberapa bagian dunia, lebih lagi di zaman imam madzhab. Namun mereka tidak ada yang menggunakan hisab.
Kelima, andaikan tidak ada campur tangan ahli hisab dalam sidang itsbat pun. ru’yah hilal itu sangat mudah. Cukup dengarkan persaksian para penyelidik hilal, jika terlihat, ya lebaran, jika tidak ya genapkan 30 hari. Jika persaksian berbeda-beda, tinggal putuskan mana yang lebih dipercaya. Tentu ini urusannya pemerintah.
Keenam, rakyat jauuuh lebih mudah lagi, tinggal mendengar dan taat. Tidak paham fiqh dalam hal ini pun tidak masalah, tidak paham ru’yatul hilal atau hisab pun tidak masalah, tidak nonton sidang itsbat pun tidak masalah, ndak ngerti apa yang diperselisihkan oleh para ahli pun tidak masalah, tinggal mendengar dan taat, sudah selamat.
Ketujuh, ilmu hisab dalam penggunaan lain, misal: penjadwalan shalat, tidaklah terlarang. Namun khusus dalam masalah penentuan 1 Syawal dan 1 Ramadhan tidak ada celah untuk membolehkan ilmu hisab.
Kedelapan, mohon bapak membaca dengan seksama penjelasan berikut:
http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/menyoal-metode-hisab.html
Assalamu’alaikum….
Saya mau tanya apakah batasan ketaatan kita kepada ulil amri, apa sampai perkara2 yang tidak brhubuungan dengan peribadatan (perkara kemasyyarakatan/umum) dan apa yang membedakan dengan kepatuhan kita pada orangtua/ibu
Jazzakumullah khairon
Wa’alaikumussalam, tentu sampai perkara muamalah kita harus taat pada ulil amri, selama bukan maksiat.
Taat pada orang tua juga demikian, dalam segala hal sampai perkara muamalah, selama bukan maksiat. Dan orang tua juga wajib taat pada ulil amri.
Ya sudahlah:)
Menurut saya rukyah dan hisab itu sama-sama punya dasar yang kuat. Saya sudah baca link-nya, beberapa dalil yang ditulis justru memperkuat keyakinan saya bahwa hisab pun punya landasan syar’i. Kata syahru dalam ayat wa man syahida minkumusyahra itu apa artinya bulan secara fisik? padahal kata syahru kan bisa dipakai untuk menyatakan bulan dalam kalender bukan bulan secara fisik (qomar).
Kalau perlu dalil silahkan baca juga link berikut ini (maaf dalam bahasa Inggris):
http://www.fiqhcouncil.org/node/37
Click to access suggested-global-islamic-calendar.pdf
Wallahu A’lam
Ya sudahlah, kalau saya sih ikut ijma ulama saja
btw, yg dimaksud pemerintah dalam hal ini sapa yah? apakah pemerintah scra umum ga masalah yah? mungkin perlu dijelaskan lebih ttg definisi pemerintah itu seperti apa dalam koridor islam… terimakasih
Pemerintah kita adalah ulil amri
Beginilah nasib sebagian kaum muslimin, diberikan tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam yang memudahkan terlaksananya suatu ibadah masih saja ngotot dengan caranya sendiri. Apa-apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam itu sudah pasti selamat, mbok ya diikuti aja gak usah merepotkan diri dengan perkara-perkara yang tidak diperlukan. Pemerintah kita mungkin memiliki kelemahan di satu sisi, tapi telah berusaha melayani masyarakatnya dalam beberapa aspek termasuk dalam penentuan hilal ini, tinggal semuanya menerima dengan legawa maka kita bisa berlebaran bersama-sama, bukan mengutamakan ego pribadi dan organisasi. Payah, dalam perkara-perkara yang sederhana saja kita tidak bisa bersatu padahal telah ada dalilnya, boro-boro mau melawan hegemoni Yahudi dan Nasrani, mimpi kali ya…
Alangkah indahnya klw org yg mengaku muslim apalagi ngaku ahlussunnah apabila sdh dijelaskn hkm2 Allah dg terang u/ mendengar dan menaati Alloh dan Rosul-Nya!…..Barokalloohufiikum u/ kang Aswad sekeluarga.
Ada kejadian miris ditmpt sy(sebuah desa di Garut)….Ktk kami(keluarga besar sdg menyimak sidang itsbat), mesjid di dpn rmh sdh rame dg takbir dan bedug(maklum di kmpg) bgt pun di mesjid2 kmpg lain, menjelg akhir sidang suara2 tsb menghilang dan….ternyta sdh diganti tarawih(Alhamdulillah ternyata msh byk yg taat sm ulil amri). Bsknya tgl 30, eh..ternyata byk yg tdk syaum dg alasan ngikut Saudi atw Muhammadiyah bahkan ada acara halal bi halal dan makan2(hal tsb dipelopori o/ ketua MUI desa sy yg lulusan Al-Azhar Mesir)….pdhl mayoritas pnddk desa sy adlh pengikut NU termasuk ketua MUI-nya…..Anehnya, tdk ada yg melaksanakn sholat ied hr itu….dan sholat ied baru dilaksanakn bsknya tgl 31 dg alasan taat pd pemerintah(itu kt pak ketua MUI)….Astaghfirullooh!! kog kyk bunglon ya….?!!!
Assalamualaikum war., wab.
Aku termasuk orang yang tidak puasa pada hari Selasa 30 Agustus 2011 karena aku beriedul fitri. Aku beralasan pada hari Senin malam sudah terlihat hilal meskipun kurang dari 2 derajat, padahal kalau melihatnya jam 21.00 sudah mencapai lebih dari 3 derajat. Menurut aku meskipun kurang dari 2 derajat, termasuk katagori sudah ada hilal. Hanya sayang Menteri Agama dan MUI juga NU menolak hilal itu.
Pada potongan ayat 2/185 dikatakan : ………. faman syahida mingkumusy syahro falyashumhu ………….. yang saya artikan ” …… barang siapa diantara kalian “membuktikan” bulan itu hendaklah berpuasa ………….
Ini adalah perintah ALLAH. Bahwa siapa yang bisa membuktikan dengan ilmu untuk menentukan awal bulan, hendaklah menyebarkannya kepada masyarakat untuk melaksanakan puasa/idiel fitri/badah haji/ dan lainnya. Hanya sayang orang mengartikan “syahida” dengan berdiri atau menyaksikan. Padahal apa yang bisa disaksikan/dilihat dari syahra, karena arti dari syahra adalah bulan yang berupa deretan angka dari 1 s/d 29/30. Maka kejadiannya seperti yang dialami beberapa hari yang lalu.
Kemudian kewajiban puasa ramadhan adalah 1 (satu) bulan bisa 29 hari bisa pula 30 hari.
Kang Aswad, saya anjurkan kepada anda untuk melihat bulan purnama penuh (15 Syawal) di sebelah Timur tanggal 12 September 2011 malam, Itu bukti bahwa 1 Syawal jatuh pada tanggal 30 Agustus 2011.
Wassalam
Pertama, apakah anda melihat hilalnya? ataukah anda hanya mendengar kabar bahwa hilal terlihat?
Kedua, secara syar’i, 2 derajat atau berapa derajat pun tidak jadi patokan. Yang penting hilal terlihat dengan mata telanjang. Ayat yang anda kutip apakah menyebutkan masalah derajat?
Ketiga, nampaknya anda belum paham juga artikel di atas. Yang menjadi patokan 1 Syawal adalah terlihat-tidaknya hilal, bukan posisi sebenarnya dari bulan. Andai benar 30 Agustus itu posisi bulan sudah bulan baru sehingga tanggal 12 sudah purnama, namun jika tanggal 30 Agustus itu hilal tidak kelihatan, maka tetap saja belum masuk 1 Syawal.
Keempat, tolong anda baca komentar-komentar sebelumnya, sudah saya jelaskan bahwa pengakuan melihat hilal itu divalidasi oleh ulil amri lalu merekalah yang menentukan, bukan semaunya sendiri. Bagaimana kalau ada orang yang merasa melihat hilal tgl 29, lalu ada yang mengaku melihat tgl 28, lalu ada lagi yang baru mengaku melihatnya tgl 1. Lalu mereka dipersilahkan berlebaran masing-masing sesuai pengakuan mereka sendiri-sendiri? Kacaulah agama ini.
Kelima, anda dan saya tidak dibebani untuk melihat hilal atau dibebani untuk mengetahui kapan sebenarnya 1 Syawal itu. Yang dibebani adalah pemerintah. Kita hanya dibebani untuk taat kepada pemerintah dan itu nanti ditanyakan di akhirat.
Terima kasih atas responnya yang begitu cepat, bagus, hanya sayang sedikit berbau emosional.
Tadinya aku tidak memerlukan membaca komentar orang, namun karena KANG ASWAD minta tolong untuk membaca komentar orang, akhirnya aku mau juga membacanya. Ternyata semua yang menunjukan kebenaran dari melihat hillal yang di Cakung dan pantai Jepara anda kesampingkan dengan menggunakan argumen taat pada Pemerintah.
Setahu saya Ulil amri tidak hanya berarti Pemerintah, karena terjemahan dari ulil amri adalah “yang berfungsi” bisa Pemerintah, bisa Ulama, Guru, Kyai, RT, dan banyak lagi. Anda keliru kalau hanya menekankan pada Pemerintah. Andapun keliru kalau menganggap bahwa dosa orang-orang yang berpuasa pada hari Selasa ditanggung oleh Pemerintah. Anda pun keliru kalau mengatakan tidak ada dalil syar’i untuk menggunakan hisab dalam menentukan awal Ramadhan maupun awal Syawal, sebab ayat 2/185 (Al-Baqoroh ayat 185) adalah PERINTAH ALLAH untuk menentukan awal ramadhan dengan menggunakan perhitungan ilmiah.
Anda sering menyatakan bahwa “anda dan saya tidak dibebani ………..”, pernyataan demikian menunjukan bahwa anda belum memahami tugas anda di dunia ini. Kata Rosulullah (karena anda lebih menyukai hadits) ; “Balighu ani walau ayatan” yang artinya “Sampaikan dari aku meskipun satu ayat”. Ini adalah perintah Rasulullah untuk melakukan da’wah dengan menyampaikan ayat-ayat Alquran.
Aku menjelaskan ayat 2/185 dalam rangka da’wah kepada anda bagaimana pemahaman dari ayat tersebut. Ternyata tanggapan anda keliru dengan menanyakan “ayat yang anda kutip apakah menyebutkan masalah derajat”. Padahal penjelasan ayat itu terpisah dengan paragraf di atasnya. Tolong anda kaji kembali.
Ma’af aku berkomentar tidak pada inti artikel, karena tidak akan ada gunanya
Wassalam
Pertama, semoga Allah merahmati anda, takutlah kepada Allah dan hendaknya berbicara agama dengan ilmu yaitu dalil Qur’an dan sunnah serta penjelasan para ulama. Bukan logika anda atau berdalil dengan terjemahan ayat. Shalat secara bahasa artinya ‘doa’. Jika kita berdalil dengan terjemahan, maka sudah cukup bagi kita berdoa 5x sehari untuk menunaikan rukun Islam ke 2. Oleh karena ini diskusi ini tidak ubahnya seperti meracau saja, jika yang dipakai hanya logika dan penafsiran terhadap terjemahan. Dan saya tidak berminat melanjutkannya, andai demikian keadaannya.
Kedua, Allah Ta’ala berfirman:
أطِيعُوا الله وأطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولى الأمْرِ مِنْكُمْ
“Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta ulil amri kalian” (QS. An Nisa: 59)
Imam Bukhari berkata dalam kitab Shahih-nya:
بابُ قَوْلِهِ تَعَالَى: {أطِيعُوا الله وأطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولى الأمْرِ مِنْكُمْ} (النِّسَاء: 59) ذَوِي الأمْرِ
“Bab firman Allah Ta’ala: ‘Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta ulil amri kalian’, yaitu pihak yang berhak memberikan perintah”
Dalam tafsir Jalalain disebutkan:
{يأيها الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّه وَأَطِيعُوا الرَّسُول وَأُولِي} وأصحاب {الْأَمْر} أَيْ الْوُلَاة
“Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya serta orang yang memiliki dan berhak memberi perintah yaitu pemerintah”
Dalil-dalil hadits juga menunjukkan persaksian hilal itu dilaporan kepada pemerintah, dalam hal ini Rasulullah sebagai kepala pemerintah, baru pemerintah yang memutuskan. Sahabat Ibnu Umar berkata:
«تَرَائِى النَّاسُ الْهِلَالَ،» فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ
“Orang-orang melihat hilal, maka aku kabarkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa aku melihatnya. Lalu beliau memerintahkan orang-orang untuk berpuasa” (HR. Abu Daud no. 2342, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
أَنَّ رَكْبًا جَاءُوا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْهَدُونَ أَنَّهُمْ رَأَوُا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ، فَأَمَرَهُمْ أَنْ يُفْطِرُوا، وَإِذَا أَصْبَحُوا أَنْ يَغْدُوا إِلَى مُصَلَّاهُمْ
“Ada seorang sambil menunggang kendaraan datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ia bersaksi bahwa telah melihat hilal di sore hari. Lalu Nabi memerintahkan orang-orang untuk berbuka dan memerintahkan besok paginya berangkat ke lapangan” (HR. At Tirmidzi no.1557, Abi Daud no.1157 dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
Jadi perkara kapan jatuhnya 1 Syawal dan 1 Ramadhan bukan terserah masing-masing individu, berpuasa dan berlebaran sesuai keyakinan sendiri-sendiri, namun diserahkan kepada pemerintah dan pemerintah yang memutuskan.
Ketiga, silakan cek kitab-kitab tafsir para ulama yang tentu lebih paham Al Qur’an bukan sekedar terjemahnya, dan tidak ada yang menjelaskan makna ayat Al Baqarah 185 seperti pemahaman anda.
Keempat, perkataan anda: “Andapun keliru kalau menganggap bahwa dosa orang-orang yang berpuasa pada hari Selasa ditanggung oleh Pemerintah”. Menunjukkan anda sama-sekali tidak memahami penjelasan-penjelasan saya sebelumnya, dan tidak memahami artikel di atas. Orang yang berpuasa hari selasa (berlebaran hari Rabu) tidak berdosa karena tidak melanggar syariat, bagaimana mungkin dosanya ditanggung pemerintah?? Selain itu, pemerintah menetapkan 1 Syawal dengan ru’yatul hilal, ini sesuai dengan syariat, bagaimana mungkin sesuai dengan syariat koq berdosa?
Kelima, perkataan anda: Kata Rosulullah (karena anda lebih menyukai hadits) ; “Balighu ani walau ayatan”‘. Ada kesan anda tidak menyukai hadits. Semoga tidak demikian, karena hadits Rasulullah adalah sumber hukum dalam Islam. Ingat, Al Qur’an tidak mengajarkan anda tata cara shalat, jika anda tidak menyukai hadits, bagaimana anda shalat?
Keenam, mengenai hadits ‘Balighu ani walau ayatan’, sampaikan dariku walau satu ayat. Rasulullah mengatakan ‘dariku’, dan ini perlu digaris bawahi dan dicetak tebal. Artinya, sampaikanlah ajaran Islam yang bersumber dari tuntunan Rasulullah, bukan dari logika dan pemahaman masing-masing. Dan dalam hal ini Rasulullah mengajarkan bahwa penentuan 1 Syawal dan Ramadhan itu ditentukan oleh pemerintah dan menggunakan ru’yatul hilal.
Ketujuh, sebernarnya saya heran, komentar anda yang pertama mengesankan anda setuju dengan ru’yah hilal karena anda mengaku berlebaran hari selasa sebab hilal sudah terlihat. Namun komentar anda yang kedua mengesankan anda membela metode hisab falaki untuk penentuan 1 Syawal. Bertaqwalah kepada Allah dan jangan berbicara masalah agama tanpa dasar.
Kedelapan, anda percaya bahwa Rasulullah adalah utusan Allah? Kalau percaya, maka percayalah juga pada perkataan beliau berikut ini:
اسمعوا وأطيعوا فإنما عليكم ما حملتم وعليهم ما حملوا
“Dengar dan taatlah (kepada penguasa). Karena yang jadi tanggungan kalian adalah yang wajib bagi kalian, dan yang jadi tanggungan mereka adalah yang wajib bagi mereka” (HR. Muslim 1846)
Jadi, anda dan saya tidak dibebani untuk melihat hilal atau dibebani untuk mengetahui kapan sebenarnya 1 Syawal itu. Yang dibebani adalah pemerintah. Kita hanya dibebani untuk taat kepada pemerintah dan itu nanti ditanyakan di akhirat.
Allahu’alam.
Alhamdulillah, bagus sekali penjelasan akh ini (kang aswad). Kelihatan ilmunya. Walaupun banyak kontra terhadapnya. Semoga Allah azza wajalla memberikan hidayah dan taufiqNya kepada kita semua untuk selalu mengikuti Ihdinasshirotolmustqiim. Syirothollazi na’an’amta’alaihim. Ghoiril maghduu bi’alaihim waladhoolliin. Amin.
Sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah (Alquran), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah (Hadits/Sunnah), dan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan di dalam Islam (bi’dah), dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka. (Dikeluarkan oleh Muslim, Kitabul Jum’ah, Bab Tahfifus Shalat wal Khutbah 867, 43).
Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku, dan sunnah khulafaur rasyidin al mahdiyin setelahku, berpeganglah kepadanya, dan gigitlah dengan geraham dan jauhilah perkara yang diada-adakan, sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat. Dikeluarkan oleh Abu Dawud, Kitabus Sunnah bab Filuzumis Sunnah 4: 607)
Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada tuntunan dari kami, maka amalannya tertolak.” (HR. Muslim)
Sungguh, pada hari ini kaum muslimin harus lebih banyak lapang dada dan jangan menutup pintu-pintu nasehat dari ahli ilmu (ulama ahlussunnah). Agar setiap pribadi kaum muslimin merasa diawasi oleh amar ma’ruf nahi mungkar.
Terima kasih responnya.
Tahukah anda kata Rasulullah ; “BALLIGHU ANNII WALAU AAYATAN” yang diriwayatkan Bukhari dari Ibnu Umar bin Aash ? yang artinya “SAMPAIKAN DARI AKU WALAUPUN SATU AYAT”
Apa yang disampaikan ? Kenapa Rasulullah mengatakan WALAUPUN SATU AYAT, bukan satu Hadits ?
Tolong beri aku penjelasan, karena yang aku pahami bahwa ayat quran-lah yang harus disampaikan.
Terima kasih
Pertama, sebelum bicara masalah ru’yah hilal, seharusnya jauuuh sebelum itu bicara aqidah dahulu. Bagaimana mungkin ketemu, lha wong, landasannya sudah beda.
Kedua, aneh sekali jika membawa hadits untuk menolak hadits.
Ketiga, hadits tersebut lengkapnya berbunyi:
بلغوا عني ولو آية ، وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج ، ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
“Sampaikan dariku walau satu ayat, dan ceritakanlah oleh kalian dari Bani Israil, tidak apa-apa. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka”
‘Ayat’ di sini bukan berarti terbatas pada Al Qur’an. Ingat lho ‘ayat’ ini adalah bahasa arab, jangan dipahami secara bahasa Indonesia. Kita lihat penjelasan ulama, Ibnu Hajar Al Asqalani berkata:
قَالَ فِي الْحَدِيثِ وَلَوْ آيَةً أَيْ وَاحِدَةً لِيُسَارِعَ كُلُّ سَامِعٍ إِلَى تَبْلِيغِ مَا وَقَعَ لَهُ مِنَ الْآيِ وَلَوْ قَلَّ لِيَتَّصِلَ بِذَلِكَ نَقْلُ جَمِيعِ مَا جَاءَ بِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اه كَلَامُهُ
“Dalam hadits di katakan ‘walaupun satu ayat’, maksudnya satu ayat semata. Yaitu agar cepat tersampaikan kepada orang lain walaupun sedikit. Agar terjadi penyampaian yang terus bersambung mengenai semua apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, yaitu semua perkataan beliau” (Fath Al Baari, 6/498)
Dan para ulama lain juga memahami demikian dari hadits ini. Mudah-mudahan nanti saya sempat membuat artikel khusus tentang hal ini.
Lebih lagi kalau kita lihat mutaba’ah dari hadits ini, semisal hadits berikut:
اتقوا الحديث عني إلا ما علمتم فمن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار ، ومن قال في القرآن برأيه ، فليتبوأ مقعده من النار
“Waspadalah dalam menyampaikan hadits dariku, kecuali yang engkau benar-benar ketahui. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka. Dan barangsiapa yang bicara tentang Al Qur’an dengan opininya, maka hendaknya dia menyiapkan tempat duduknya di neraka” (HR. Tirmidzi 2951, ia berkata: “Hasan”)
Dalam hadits ini sangat jelas maksud ‘berdusta atas namaku’ adalah ‘berdusta dalam menyampaikan hadits’. Ini merupakan indikasi bahwa ‘ayat’ dalam hadits pertama juga mencakup hadits, karena dalam hadits pertama juga diancam orang yang ‘berdusta atas namaku’.
Keempat, kebetulan sudah disinggung hadits sebelumnya, kita dilarang memahami Al Qur’an hanya mengandalkan opini, diancam oleh Rasulullah. Menafsirkan Qur’an dengan Qur’an atau Qur’an dengan hadits.
Kelima, setiap muslim yang iman thd Al Qur’an, wajib menerima hadits Nabi. Karena Allah berfirman:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
“Barangsiapa taat kepada Rasul, berarti ia taat kepada Allah” (QS. An Nisa: 80)
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang datang dari Rasulullah, ambilah. Apa yang ia larang, jauhilah” (QS. Al Hasyr: 7)
Dan banyak ayat yang memerintahkan kita mengikuti ajaran Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
Keenam, saya penasaran dengan orang2 yang menolak hadist. Bagaimana cara mereka shalat, haji, puasa, bahkan bagaimana nasib jasad mereka ketika meninggal kelak. Apakah dimandikan, dikafani, dishalatkan dan lalu dimakamkan sebagaimana dituntunkan oleh hadits? Ataukah langsung saja dimasukkan ke lubang, karena Al Qur’an tidak memberikan tuntunan dalam masalah ini.
Ketujuh, saya hanya menyampaikan, bukan memvonis. Bahwa para ulama Islam dan juga MUI sudah sepakat bahwa ajaran yang menolak hadits Nabi adalah ajaran menyimpang bahkan bisa keluar dari Islam.
Semoga Allah melimpahkan hidayahnya kepada kita semua.
http://ustadzaris.com/jika-pemerintah-menetapkan-hari-raya-dengan-hisab
maaf ustadz bwt tambahan ilmu saja,bukan debat ana tampilkan setelah membaca isi fatwa sang syaikh yaitu
Jika pemerintah anda menentukan awal bulan dengan berpegangan pada hisab falaki, maka jangan mentaatinya. Karena taat kepada pemerintah hanyalah pada hal yang ma’ruf. Jika keadaannya demikian, hendaknya kaum muslimin mencoba menyelidiki hilal sendiri, jika mereka melihatnya maka mulailah berpuasa Ramadhan, jika terhalang karena alasan cuaca maka genapkanlah sya’ban menjadi 30 hari.
Ana tetap menghargai pendapat ulama yang meyelisihi jumhur ulama (yang berpendapat bolehnya mengikuti keputusan pemerintah walaupun pakai hisab falaki)
Debat yg seru, ahlisunah tp masih bayar pajak yg tdk ada dlm sunah. melakasankan sunah bukan hanya dlm ibadah pak tapi dlm segala unsur, ingatlah Rasulullah dan para sahabat sampai berperang menyiarkan islam bukan hanya utk ibadah saja tetapi hukum-hukumnya pun ditegakan. Apakah pemerintah sudah melaksanakan hujum-hukum islam? seperti itukah yg kita contoh? makanya kita selalu berdebat untuk menyatakan bahwa kita yg paling benar.
Maaf apa korelasinya dengan pajak? Dan siapa juga yang bayar pajak?